Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru - Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penghapusan Presidential Threshold: Demokrasi dan Tantangan Pendidikan

12 Januari 2025   11:49 Diperbarui: 12 Januari 2025   11:49 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penghapusan Presidential Threshold: Demokrasi dan Tantangan Pendidikan 

Oleh Karnita

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan presidential threshold (PT) dalam Pemilu 2024 adalah keputusan monumental yang harus dilihat dengan kacamata yang lebih kritis. Bagi banyak orang, keputusan ini dianggap sebagai angin segar yang membuka lebih banyak ruang bagi calon presiden dari luar dua koalisi besar. Namun, kita perlu bertanya: Apakah penghapusan PT ini benar-benar membawa demokrasi Indonesia ke arah yang lebih terbuka dan sehat, atau justru membuka pintu bagi oligarki yang lebih rapat?

Secara teoritis, menghapuskan PT dapat memperbanyak pilihan calon presiden. Ini memberi kesempatan lebih besar bagi calon dari partai-partai kecil atau individu tanpa afiliasi partai besar untuk maju. Dalam pandangan ideal, tentu ini akan memperkaya kontestasi politik dan memberi pemilih lebih banyak pilihan. Namun, pada kenyataannya, hal ini berisiko memperburuk polarisasi politik yang sudah sangat tajam. Sejak Pemilu 2014, kita telah melihat bagaimana dua koalisi besar mendominasi hampir seluruh percakapan politik. Penghapusan PT ini, meski memberi ruang bagi calon baru, bisa memperburuk fragmentasi politik yang justru lebih memecah belah.

Satu hal yang harus kita waspadai adalah potensi meningkatnya jumlah calon presiden yang tidak memiliki kekuatan struktural yang memadai. Tanpa PT, siapa saja bisa mencalonkan diri, bahkan mereka yang tidak memiliki koalisi kuat di parlemen. Kita bisa membayangkan situasi di mana pemilih kebingungan memilih antara berbagai calon yang hanya mengandalkan nama besar atau popularitas semata, bukan visi dan misi yang jelas. Ini bukan hanya soal banyaknya pilihan, tetapi lebih kepada kualitas pilihan itu sendiri. Pendidikan politik kita belum cukup matang untuk menanggapi hal ini dengan bijak.

Dalam dunia pendidikan, keputusan ini memberi tantangan besar. Pendidikan demokrasi di Indonesia selama ini masih terfokus pada teknik memilih dan prosedur pemilu, tetapi jarang menggali lebih dalam mengenai kualitas kandidat dan dampak dari pilihan kita terhadap sistem pemerintahan. Di tengah kompleksitas politik yang semakin berkembang, pemilih yang tidak teredukasi dengan baik akan mudah terjebak dalam politik populisme yang dangkal. Apa yang dibutuhkan sekarang adalah pendidikan yang mengajarkan pemilih untuk tidak hanya memilih berdasarkan nama besar atau popularitas, tetapi berdasarkan rekam jejak dan kualitas calon tersebut.

Lebih jauh lagi, penghapusan PT dapat memperburuk fenomena politik uang dan manipulasi media. Tanpa filter yang diberikan oleh PT, kita bisa melihat lebih banyak calon yang berlomba-lomba untuk mendapatkan dukungan finansial besar demi menarik perhatian publik. Dengan lebih banyak calon, otomatis biaya kampanye akan semakin mahal. Partai-partai kecil dan calon-calon independen yang tidak memiliki akses ke sumber daya besar bisa jadi terpaksa terjebak dalam politik transaksional. Ini adalah sisi gelap dari demokrasi yang semakin terbuka, di mana yang kaya akan semakin kaya, dan politik menjadi semakin dikuasai oleh segelintir orang dengan kekuatan finansial.

Di sisi lain, kita juga perlu melihat keputusan ini sebagai kesempatan untuk mendemokratisasi pemilu lebih jauh lagi. Jika sistem pendidikan politik kita dapat berjalan dengan baik, penghapusan PT bisa jadi peluang untuk membangun kesadaran politik yang lebih tinggi. Pendidikan yang baik akan membuat pemilih lebih kritis, lebih selektif, dan tidak mudah terjebak dalam narasi populisme yang dangkal. Pemilih yang sadar akan hak dan kewajibannya akan menuntut lebih dari sekadar janji manis atau wajah tampan di iklan. Demokrasi yang matang hanya bisa terwujud jika rakyatnya tahu apa yang mereka pilih dan mengapa mereka memilihnya.

Namun, semua ini tentu saja sangat bergantung pada kualitas pendidikan demokrasi itu sendiri. Tanpa pemahaman yang mendalam, masyarakat bisa dengan mudah terjebak dalam pertarungan politik yang hanya menguntungkan segelintir elit politik. Kita harus memperhatikan bahwa keputusan MK ini, meski memberi peluang lebih banyak calon, pada akhirnya bisa mengarah pada ketidakstabilan politik yang tidak sehat jika masyarakat tidak siap untuk memilih secara bijak.

Apalagi, dalam konteks pendidikan yang sedang berkembang di Indonesia, kita harus sadar bahwa penghapusan PT ini berpotensi memperburuk kesenjangan politik di kalangan masyarakat. Pemilih di daerah-daerah dengan akses terbatas terhadap informasi akan semakin sulit membedakan antara calon yang memiliki visi untuk masa depan bangsa dengan mereka yang hanya mengejar popularitas sesaat. Dengan kata lain, penghapusan PT bisa menjadi bumerang yang memperlebar jurang ketidaksetaraan politik di Indonesia.

Tantangan bagi kita semua, baik sebagai pendidik maupun pemilih, adalah untuk memastikan bahwa demokrasi kita tetap sehat dan tidak terperosok dalam ketidakpastian yang diciptakan oleh banyaknya calon yang tidak jelas arah perjuangannya. Jika kita ingin Pemilu 2024 benar-benar terbuka, efisien, dan demokratis, kita perlu lebih dari sekadar menghapuskan PT. Kita perlu memastikan bahwa demokrasi yang kita jalankan adalah demokrasi yang cerdas, yang mampu menilai calon berdasarkan substansi, bukan hanya simbol.

Pada akhirnya, keputusan MK untuk menghapuskan PT memang membuka ruang bagi calon-calon baru, tetapi kita harus berhati-hati. Sebuah demokrasi yang terbuka dan inklusif hanya akan tercapai jika kita semua---pendidik, pemilih, dan calon pemimpin---bersama-sama menciptakan ruang yang tidak hanya memberi banyak pilihan, tetapi pilihan yang berkualitas. Tanpa itu, kita akan kembali terjebak dalam pola lama: demokrasi yang terkontaminasi oleh oligarki yang semakin menguat.

Penulis adalah praktisi pendidikan dan pemerhati kebijakan publik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun