Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru - Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Indonesia: Membangun Pilar atau Sekadar Menumpuk Janji?

11 Januari 2025   22:21 Diperbarui: 12 Januari 2025   06:26 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan Indonesia: Membangun Pilar atau Sekadar Menumpuk Janji?

Oleh Karnita

"Fiat lux," biarkan ada cahaya—sebuah adagium latin yang sering dikutip, seolah menegaskan bahwa pendidikan adalah cahaya yang menerangi jalan bangsa. Namun, apa yang terjadi ketika cahaya itu hanya ada pada kata-kata, bukan pada implementasi nyata? Inilah yang menjadi pertanyaan kritis yang seharusnya menggelitik hati kita sebagai bangsa yang masih berjuang menghadapi 7 isu pendidikan yang terus menjadi catatan kritis.

Pendidikan seharusnya menjadi pilar utama dalam membangun bangsa. Namun, kenyataan sering kali berbanding terbalik dengan harapan. Dalam rapat kerja Forum Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan (Fortadik) yang diadakan pada 19 Januari 2024, tujuh  isu pendidikan yang diungkapkan menjadi cermin betapa jauh pendidikan Indonesia masih harus berjuang untuk bisa berdiri tegak. Isu-isu ini bukan hal baru—sejatinya, mereka sudah menjadi beban bagi sistem pendidikan yang seharusnya semakin maju.

Pertama, kurangnya sinergi antar lembaga pendidikan. Jika kita berbicara tentang sinergi, maka kita berbicara tentang koordinasi dan keterpaduan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah, serta lembaga pendidikan itu sendiri. Namun, alih-alih sinergi, yang terjadi justru fragmentasi kebijakan yang menghambat perkembangan pendidikan itu sendiri. Pusat dan daerah, seolah memiliki visi yang berbeda—sehingga kebijakan pendidikan sering kali terpecah belah. “Bagai telur di ujung tanduk,” sebuah peribahasa yang tepat menggambarkan betapa rapuhnya kebijakan pendidikan kita yang terpisah-pisah.

Isu kedua yang menjadi catatan kritis adalah pendistribusian anggaran pendidikan yang tidak merata. Pendidikan selalu dijadikan komoditas yang diprioritaskan dalam anggaran negara, tetapi kenyataannya, alokasi anggaran pendidikan masih terkonsentrasi pada sektor-sektor yang tidak langsung berkaitan dengan pengembangan kualitas pengajaran. Ini mengingatkan kita pada pepatah lama, "Besar pasak daripada tiang." Saat anggaran pendidikan semakin melambung, kualitas pendidikan tidak serta-merta mengalami peningkatan. Sebaliknya, sering kali sektor pendidikan justru terabaikan oleh kebijakan yang lebih mengutamakan proyek jangka pendek.

Ketiga, kesenjangan antara pendidikan di perkotaan dan pedesaan. Ini adalah masalah klasik yang tak kunjung selesai. Pendidikan di daerah pedesaan masih sangat tertinggal dibandingkan dengan di kota besar. Sekolah-sekolah di pedesaan kekurangan fasilitas, tenaga pengajar, dan bahkan akses internet. “Bagaikan langit dan bumi,” demikian perbedaan yang terjadi antara kualitas pendidikan di kota dan di pedesaan. Pemerintah seharusnya segera mengambil langkah nyata untuk menyamakan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, tidak membiarkan ketimpangan ini semakin melebar.

Keempat, ketidakadilan dalam distribusi tenaga pengajar. Guru masih menjadi profesi yang terabaikan, khususnya mereka yang berada di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Kualitas pengajaran yang baik seharusnya dapat diakses oleh semua kalangan. Namun, banyak guru yang terabaikan—baik dari sisi kesejahteraan maupun dukungan profesionalitas. Guru di daerah-daerah tertentu masih terpaksa berjuang dengan fasilitas yang minim, tanpa perhatian yang memadai dari pemerintah. Sejatinya, mereka adalah garda terdepan dalam dunia pendidikan yang seharusnya dihargai lebih dari sekadar jargon-jargon di pidato presiden.

Lima, proses sertifikasi guru yang lambat. Sertifikasi guru adalah salah satu langkah yang harus ditempuh untuk meningkatkan kualitas pengajaran, namun implementasinya masih sangat lambat. Banyak guru yang seharusnya sudah mendapatkan sertifikasi, tetapi masih harus menunggu berbulan-bulan—bahkan bertahun-tahun—untuk bisa mendapatkannya. "Tak ada angin, tak ada hujan," namun sertifikasi tetap terhambat. Ini bukan hanya soal proses administratif, tetapi juga menyangkut hak dan kesejahteraan para guru yang bekerja tanpa kenal lelah di lapangan.

Enam, beban administratif yang berlebihan. Guru-guru kita terpaksa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan tugas administratif, mulai dari absensi hingga laporan-laporan yang tidak ada habisnya. "Laksana ikan dalam air," tidak bisa bergerak bebas, itulah gambaran dari para guru yang terjebak dalam rutinitas administratif. Bukankah sudah saatnya pemerintah memfokuskan perhatian pada pengurangan beban administratif yang tidak ada hubungannya dengan kualitas pengajaran?

Ketujuh, kurangnya pengawasan terhadap kebijakan pendidikan. Tanpa pengawasan yang jelas, kebijakan yang ada tidak bisa diimplementasikan dengan maksimal. "Bagai melempar batu ke laut," kata pepatah, yang menggambarkan betapa sia-sianya jika kebijakan pendidikan tidak disertai dengan pengawasan yang memadai. Pemerintah harus bertanggung jawab memastikan bahwa setiap kebijakan yang dibuat benar-benar diterapkan dengan efektif di lapangan, bukan sekadar menjadi bahan retorika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun