Pendidikan untuk Semua, Tapi Tidak untuk Semua Sekolah
Oleh Karnita
Â
Pendistribusian anggaran pendidikan yang tidak merata adalah isu yang tak kunjung reda dan selalu menjadi catatan kritis bagi sektor pendidikan. Ketimpangan ini bak bayangan hitam yang terus menggerogoti fondasi pendidikan di tanah air. Bukan rahasia lagi bahwa anggaran pendidikan, meski terus meningkat dari tahun ke tahun, seolah hanya berputar di sekitar segelintir daerah yang sudah cukup makmur. Sementara itu, daerah-daerah terpencil dan kurang berkembang masih tercenung dengan fasilitas yang terbatas dan kualitas pendidikan yang rendah. "Si vis pacem, para bellum," jika ingin kedamaian, siapkanlah perang---begitulah seharusnya sikap kita dalam menyikapi ketidakadilan anggaran pendidikan ini. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya: kita malah diam saja, membiarkan pendidikan terperosok ke dalam jurang ketimpangan.
Â
Anomali ini tentu saja menjadi paradoks besar dalam sistem pendidikan kita. Di satu sisi, pemerintah berusaha mengalokasikan anggaran yang besar untuk pendidikan, tapi pada sisi lain, distribusinya justru menimbulkan ketimpangan yang mencolok. Sementara kota-kota besar mendapatkan anggaran yang cukup melimpah, sekolah-sekolah di daerah terpencil malah harus puas dengan anggaran yang jauh dari cukup. Padahal, kualitas pendidikan harusnya tidak dipandang dari segi letak geografis. Sejatinya, setiap anak Indonesia berhak mendapatkan kualitas pendidikan yang setara, apapun daerah tempat mereka tinggal.
Â
Kebijakan ini berimplikasi buruk bagi kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa di daerah yang terabaikan. Siswa di daerah dengan anggaran yang terbatas sering kali terjebak dalam kondisi belajar yang kurang mendukung---kurangnya fasilitas, ketidaktersediaan sarana prasarana, hingga kekurangan tenaga pengajar yang memadai. Akibatnya, standar pendidikan yang diterima siswa di daerah-daerah ini jelas jauh di bawah rata-rata nasional.
Â
Implikasi lebih lanjut dari ketimpangan anggaran ini adalah terciptanya jurang ketidaksetaraan antara pendidikan di daerah kota dengan pendidikan di daerah pedalaman. Sebagai contoh, sekolah-sekolah di kota besar bisa dengan mudah mengakses teknologi terbaru, fasilitas perpustakaan yang lengkap, hingga fasilitas olahraga yang memadai. Sementara itu, di daerah terpencil, mereka bahkan harus bertahan dengan kondisi kelas yang kurang layak. Bayangkan betapa ironisnya ini!
Â
Ketidakmerataan distribusi anggaran ini juga mengarah pada penciptaan ketimpangan dalam kualitas pengajaran. Guru-guru di daerah yang memiliki anggaran terbatas seringkali harus berjuang lebih keras untuk menyediakan bahan ajar dan fasilitas yang layak bagi siswa. Sementara itu, guru-guru di kota besar sering kali memiliki akses yang lebih mudah terhadap pelatihan dan pengembangan diri. Akibatnya, kualitas pengajaran di daerah-daerah terpencil pun sering kali lebih rendah. Apakah ini yang kita sebut pendidikan yang adil dan merata? Tentunya tidak.
Â
Oleh karena itu, solusi yang pertama kali harus diperhatikan adalah pemerataan anggaran pendidikan. Pemerintah harus lebih bijak dalam menentukan prioritas dan memastikan bahwa anggaran yang dialokasikan benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, tanpa terkecuali. Pendidikan tidak bisa hanya dilihat sebagai biaya, tetapi sebagai investasi masa depan yang harus dibagi secara adil.
Â
Selain itu, penting untuk melakukan transparansi anggaran di sektor pendidikan. Anggaran yang besar tidak akan berarti apa-apa jika penggunaannya tidak jelas dan tidak sampai ke sasaran yang tepat. Keterbukaan dalam pengelolaan anggaran dapat menghindarkan praktik-praktik korupsi yang merugikan pendidikan itu sendiri. Pemerintah perlu mengedepankan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran agar tujuan mulia pendidikan bisa tercapai dengan optimal.
Â
Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu memperhatikan kualitas penggunaan anggaran di setiap daerah. Anggaran yang terbatas bukanlah alasan untuk tidak menghasilkan pendidikan yang berkualitas. Sebaliknya, anggaran yang terbatas harus dioptimalkan untuk menciptakan inovasi di dunia pendidikan. Dengan menggunakan teknologi, misalnya, sekolah-sekolah yang kekurangan fasilitas dapat memperkaya pengalaman belajar siswa tanpa perlu mengeluarkan biaya yang sangat besar.
Â
Lebih jauh lagi, salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah menciptakan sistem yang adil dalam pengalokasian anggaran berdasarkan kebutuhan riil masing-masing daerah. Pemerintah harus memahami bahwa tidak semua daerah membutuhkan anggaran yang sama besar. Daerah yang sudah maju tentu tidak perlu mendapatkan anggaran sebesar daerah yang masih tertinggal. Oleh karena itu, sistem pengalokasian anggaran pendidikan harus berbasis pada analisis kebutuhan yang matang, bukan hanya berdasarkan proporsi yang seragam.
Â
Rekomendasi lainnya adalah meningkatkan kerjasama antara pemerintah daerah dan pusat dalam memetakan kebutuhan anggaran pendidikan. Kerjasama ini sangat penting untuk memastikan bahwa dana yang dialokasikan benar-benar sampai ke daerah yang membutuhkan.
Â
Di akhir tulisan ini, kita perlu menyadari bahwa ketidakmerataan anggaran pendidikan tidak hanya soal angka---tetapi soal masa depan bangsa. Pendidikan adalah hak semua anak Indonesia, tanpa terkecuali. Ketimpangan anggaran hanya akan mengorbankan generasi mendatang. Jika kita ingin negara ini maju, kita harus memastikan bahwa pendidikan merata untuk semua. "Pacta sunt servanda," perjanjian harus ditepati---dan janji untuk mewujudkan pendidikan yang adil harus ditepati dengan tindakan nyata. Wallahu a'lam.
Â
Penulis adalah guru di SMA Negeri 13 BandungÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H