MENGUTIPÂ situs Wikipedia, istilah revolusi industri 4.0 berasal dari sebuah proyek dalam strategi teknologi canggih pemerintah Jerman yang mengutamakan komputerisasi pabrik. Istilah ini kemudian diangkat kembali di Hannover Fair tahun 2011. Pada Oktober 2012, Working Group on Industry 4.0 memaparkan rekomendasi pelaksanaan Industri 4.0 kepada pemerintah Federal Jerman.
Secara umum, revolusi industri 4.0 memiliki makna perubahan sistem dari manual menjadi digital berbasis internet. Konsekuensi dari perubahan ini adalah munculnya fenomena disrupsi di tengah-tengah masyarakat. Fenomena ini mendorong perubahan pola aktivitas yang juga serba digital.
Bagi yang gagap teknologi internet, disrupsi jelas merupakan fenomena yang merugikan. Tapi bagi mereka yang menjadikan internet sumber segalanya (Internet of Things), fenomena disrupsi merupakan kesempatan untuk memperoleh peluang-peluang baru dalam berbisnis.
Saat ini, revolusi industri 4.0 sudah menjangkau semua bidang kehidupan. Termasuk dalam industri logistik. Bagi Indonesia, revolusi industri 4.0 di bidang logistik bisa dimanfaatkan untuk bisa keluar dari persoalan klasik mahalnya biaya logistik.
Rilis yang dikeluarkan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) tahun 2019 menyebutkan biaya logistik Indonesia masih tertinggi di ASEAN. Angkanya mencapai 24% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bandingkan dengan Singapura yang hanya 8% dari PDB.
Indonesia menaruh harapan besar turunnya biaya logistik dari fenomena digital saat ini. Pertumbuhan bisnis online (e-commerce) yang demikian pesat belakangan ini diharapkan mendorong tumbuhnya industri logistik yang makin berdaya saing.
Harapan itu makin terbuka dengan meningkatnya penggunaan ponsel pintar (smartphone) di kalangan masyarakat. Dalam konteks bisnis, saat ini jutaan pelaku usaha sudah memanfaatkan smartphone untuk memasarkan produk-produknya. Sebaliknya, para konsumen juga memanfaatkan smartphone untuk mencari produk-produk yang dibutuhkan. Keberadaan situs-situs marketplace menjadi ajang pertemuan virtual antara produsen dan konsumen. Dari situ terjadilah kemudian transaksi jual beli melalui sistem yang sudah ditentukan.
Jika transaksi jual beli dilakukan di dunia nyata (toko berwujud fisik), mungkin tidak menjadi soal urusan yang membawa barang dari penjual ke tempat pembeli. Tapi di dunia maya, setelah transaksi selesai, langkah berikutnya adalah mengirim barang yang dipesan ke alamat konsumen.
Bagi penjual/penyedia produk, urusan mengirim barang ke konsumen ini harus dilakukan secara hati-hati. Pihak penjual harus memastikan barang yang dikirim itu sampai pada alamat konsumen secara tepat waktu. Tak sebatas itu saja, pihak produsen pun ingin memastikan barang yang dikirim tidak mengalami kerusakan selama dalam perjalanan.
Begitu pun dari sisi biaya pengiriman, semua harus dihitung secara cermat agar tidak membebani baik pihak penjual/produsen maupun konsumen.
Semua pertimbangan-pertimbangan itu harus dipikirkan secara matang. Bagi penjual, bisnis online memang membutuhkan kehati-hatian ekstra. Faktor trust (kepercayaan) konsumen mencakup dari hulu ke hilir, mulai dari kualitas sampai pada saat produk diterima konsumen sesuai waktu yang dijanjikan.