Saatnya kepedulian ini dibangun, karena pada dasarnya pemerintah (atau orangtua dalam kiasan tadi) hanyalah pembangun kesadaran serta penyeimbang antar-warga masyarakat melalui aturan-aturan yang dibuatnya, memberikan lebih banyak 'option for the poor' sehingga mereka didorong secepatnya bisa sejahtera. Termasuk kepedulian pada generasi-generasi mendatang untuk ikut merasakan hasil cara kita mengelola kekayaan negara, dalam hal ini sumber daya alam penghasil energi yang jumlahnya makin terbatas. Terlebih hal ini akan memberikan pondasi mental bagi generasi-generasi selanjutnya untuk membangun bangsa yang produktif dan bangga jika kebutuhan hidupnya tidak harus terus menerus disubsidi negara.
Masyarakat juga harus mulai belajar mengenai cara dan dampak mereka mengkonsumsi BBM. Termasuk jika ini berkaitan dengan pola dan gaya hidup. Mereka harus mulai rasional dan diajak berpikir bahwa ada yang salah ketika kita misalnya mereka mampu membeli sepatu merek luar negeri jutaan rupiah sementara bensin yang mereka beli masih bersubsidi.
***
Teknis pembedaan mereka yang layak disubsidi dan tidak layak disubsidi ada banyak tergantung pada batas yang digunakan. Wacana juga sudah banyak digulirkan dari pembatasan cc kendaraan, pembatasan tahun, pemasangan perangkat RFID, kartu seperti ide Jokowi, voucher seperti ide Prabowo, dll.
Apapun sistemnya, semua harus dilandasi dengan ketegasan hukum bagi siapapun yang melanggar. Sebuah tantangan tersendiri mengamankan sebuah kebijakan tidak populer, masif, dan berhubungan langsung dengan hajat hidup setiap orang setiap hari, selain tantangan kebanggaan sebagian warga masyarakat ketika bisa melanggar hukum dan tidak ditindak dan tantangan bahwa hukum bisa diarahkan ke siapa yang mampu bayar.
Sungguh ide mengenai revolusi mental mendapatkan tantangannya dalam wacana subsidi BBM ini. Semoga pemerintahan Jokowi-JK bisa mengatasinya.