Mohon tunggu...
Mia
Mia Mohon Tunggu... Bankir - My Self, Only Mine

Karyawan swasta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesempatan Kedua

10 Agustus 2019   13:58 Diperbarui: 26 Agustus 2019   16:35 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari saya dan keenam teman yang lain merencanakan untuk pergi hiking. Jauh-jauh hari kami sudah lakukan berbagai persiapan. Kami merencanakan kegiatan tersebut karena kami mempunyai satu persamaan, yaitu sama-sama ingin rehat sejenak dari rutinitas kantor masing-masing. Setelah sepanjang tahun bekerja tanpa pernah mengambil cuti, hanya bisa memandang laptop dan email-email kantor yang kadang membuat kening terlipat, sudah tepat memang keputusan kami untuk pergi sejenak ke tempat yang tidak dijangkau oleh signal ataupun jaringan email.

Berbagai macam perlengkapan dan kebutuhan sudah kami susun dengan rapih, begitu juga dengan pembagian tugas masing-masing sudah dipelajari sehari sebelum keberangkatan kami. Dari latihan lari pagi, lari sore hingga lari beneran karena diburu anjing, itu semuanya sudah terlewati dengan baik.

Bulan sudah mulai beranjak menjauh dan perlahan-lahan membangunkan matahari ketika bus kami bergerak meninggalkan perkotaan menuju tempat liburan kami. Karena kondisi jalanan yang masih sunyi, pak sopir pun mengambil kesempatan untuk menaikkan kecepatan laju busnya. "Saya mantan pembalap loh waktu masih muda!" kata pak sopir kepada kerneknya sambil tertawa. Saya yang duduk di barisan kedua dari depan hanya bisa berkhayal gebukin pak sopir yang ngaku pembalap ini. Gak tahu apa saya gak bisa rileks karena cara nyetirnya yang ngebut-ngebutan.

Kira-kira hampir jam setengah delapan pagi bus yang kami tumpangi akhirnya tiba juga di kaki gunung. "Yeaaahhhh.., Kita hampir sampai!" teriak kami bertujuh yang spontan membuat penumpang yang lain kaget dan menoleh kearah kami dengan mata yang lumayan melotot.

"Hei, kalian tahu aturan gak? Ini bus umum bukan bus milik engkongmu. Lagian juga masih pagi-pagi sudah teriak-teriak gak jelas!" bentak salah seorang penumpang.

"Iya neh, pada kurang kerjaan yahh? Sambung penumpang yang lain.

"Lagi mimpi makan yang enak-enak tapi karena kaget jadi lapar lagi dahh, pada rese tahu gak!" lanjut penumpang yang lainnya. Nah loh, kalau situ yang lapar, kok kami yang disalahkan.

"Sekali lagi kalian teriak, saya paksa kalian turun di tengah jalan." pak sopir ikut-ikutan ngancam.

"Loh, gak bisa begitu pak, kita kan bayar untuk sampai di tempat tujuan. Kalau tidak mau ngantar kami, kembalikan saja kami ketempat awal kami naik tadi." gerutuku tak menentu yang membuat pak sopir menoleh dengan seramnya kearahku.

"Huss, San, ngomong apa seh?" tegur Dini.

"Ehh, anu pak. jangan di dengar omongan teman saya ini, dia lagi menggigau. Maklum kurang tidur diperjalanan Pak!" sambung Ferdy, temanku yang lain. Sedangkan teman-teman yang lain pada tutup mulut, menahan tawa.

Tak lama kemudian kami pun tiba ditempat perhentian kami. Karena masih ada rasa bersalah ditambah sedikit rasa malu, akhirnya secepat kilat kami mengambil tas carrier masing-masing dan melompat dari bus lalu lari sekencang-kencangnya tanpa memperdulikan teriakan para penumpang dan kernek bus tadi.

Setelah lelah berlari hingga tidak terlihat lagi oleh seisi penumpang bus tadi, akhirnya kami pun berhenti sejenak untuk melepaskan tawa. Lumayan buat olahraga sebelum memulai pendakian.

Setelah melapor ke pos penjagaan, akhirnya kami pun memulai pendakian kami hari ini. Tidak sabar rasanya ingin bermain-main dengan alam pengunungan yang begitu sejuk dan tenang. Suara jangkrik dan kicau burung yang tiada henti semakin mendramatisir pendakian kami. Ditambah lagi air pegunungan segar dan bersih yang mengalir dari pipa-pipa kecil yang dibuat oleh warga setempat membuat kami berebutan untuk meminumnya. Hmmm.., liburan kami kali ini lain dari biasanya.

"Rin, mau kugendong gak?" goda Ary yang membuat Rina malu-malu kucing.

"Apaan seh, malu-maluin aja kamu ini!" kata Rina sambil terus berjalan.

"Cieeeee.., ada yang mau prewed nehh." sahut teman yang lain kompakan sambil tertawa.

"Bagus tuh, kalau foto berdua sambil manjat pohon." kata Ary menimpali disambut gelak tawa kami.

Ary dan Rina memang sepasang kekasih. Mereka berpacaran baru setahun ini dan tahun depan berencana untuk menikah. Saya kadang merasa iri dengan mereka. Saya dan mantan sudah berpacaran selama 6 tahun tapi harus bubar karena ditentang oleh orang tuanya. Kok bisa yah mereka yang pacaran hanya setahun trus langsung berencana menikah? tanyaku dalam hati. Lho, kok saya ngelamun yang aneh-aneh yah? Mereka mau menikah itu urusan mereka, kok saya yang kepo? Sontak saya tersadar sendiri dan menyadari kalau yang lainnya sudah berjalan jauh didepan. "Hey.., tunggu saya!" teriakku setengah berlari menyusul mereka.

Kami benar-benar menikmati pendakian kali ini. Betapa tidak, disepanjang jalan tidak henti-hentinya kami bernyanyi, bercerita, tertawa hingga berteriak sekencang-kencangnya. Seakan-akan semua stress yang ada di kepala kami terlempar jauh ke dalam jurang. Untuk sejenak dengan leluasa mata kami bisa melihat hamparan permadani hijau yang sangat luas dan begitu serasi mendampingi birunya atap langit tanpa awan setitikpun. Untuk saat ini kami membiarkan paru-paru kami bermain sepuas-puasnya dengan kesejukan udara yang mengiringi jejak kami.

Ketika matahari sudah sangat terik, akhirnya kami memutuskan untuk istirahat sambil makan siang. Setelah menemukan lokasi yang agak datar, tanpa komando kami langsung mengambil posisi duduk yang manis. Tapi.., sepertinya ada yang aneh. Sejenak kami saling memandang satu dengan yang lainnya, lalu tiba-tiba pecahlah suara tawa kami. Rupanya ada satu tas kecil yang tertinggal di dalam bagasi bus tadi dan tas kecil tersebut berisi nasi bungkus untuk makan siang kami. Siang itu kami tertawa lama sekali sambil guling-guling di rumput. Kami mentertawakan kelaparan kami. Tawa kami sebagai makanan pembuka kami siang ini. Lucu sekali

Akhirnya mie instan yang dicampur dengan telur rebus yang kami siapkan untuk makan malam, mau tidak mau kami masak untuk makan siang kami. Bermodalkan kompor kecil, kami pun memasak menu sangat sederhana ini dan setelah selesai masak, langsung kami santap bersama-sama dengan begitu lahapnya. Lumayan sebagai penambah tenaga sebelum kami melanjutkan perjalanan siang ini.

Setelah membersihkan peralatan masak dan juga memastikan tidak ada sampah kami yang tertinggal, kami pun melanjutkan petualangan kami. Disepanjang perjalanan, kami mengumpulkan beberapa jamur untuk kami rebus nantinya sebagai penambah menu makan malam kami. Untuk membedakan antara jamur yang beracun dan yang tidak beracun, itu kami serahkan kepada Vira, salah seorang teman kami yang kutu buku. Dia bisa mengetahui mana jamur yang beracun dan yang tidak beracun, itu bukan karena dia ahli dalam ilmu Biologi, tapi karena dialah orang pertama yang nantinya akan mencicipi jamur tersebut. Eh, gak kok, cuma becanda.

"Ssstt.., teman-teman kalian dengar gak suara itu?" tanya Toni tiba-tiba yang membuat kami semua tiba-tiba terdiam.

"Air terjuuuuuuunnn!" Sontak kami teriak kegirangan karena mendegar deru air dari kejauhan. Kami lalu berlari mencari sumber suara itu dan setelah beberapa menit akhirnya tadaaaaa kami melihat debit air yang banyak sedang asyik terjun bebas dari puncak ketinggian.

"Ohemji.., indahnya. Di kota mana ada pemandangan seperti ini!" Dini mulai melebay.

"Aduh, please deh Din, jangan lebay juga!" kata Ferdy. "Kalau dikota ada pemandangan seperti ini, ngapain juga kita jauh-jauh kesini." tambahnya.

"Ih, suka-suka aku dong mau ngomong apa, kok situ yang ngomel?" sahut Dini dengan nada protes.

"Bukannya ngomel, cuma mau ngingatin saja, kesejukan alam disini tercemar karena kelebayanmu." sahut Ferdy lagi.

"Woyyy.., kamu dua pada bertengkar, itu yang lain sudah pada berbaris di bawah air terjun." sahut Vira dari kejauhan.

Sepanjang sore kami bermain sepuasnya di air terjun tersebut. Teman yang cowok dengan beraninya naik ke atas ketinggian tertentu lalu loncat ke sisi air terjun kemudian berenang ke tempat yang lebih dalam lagi. Sedangkan kami yang cewek, karena tidak berani hanya bisa berdiri di bawah guyuran air terjun atau hanya sekedar berendam di tempat yang agak dangkal.

Ketika hari sudah mulai menjelang malam, setelah puas bermain dan berfoto, akhirnya kami pun meninggalkan lokasi tersebut dengan segudang kesegaran. Letihnya luar biasa memang namun pengalaman yang didapat sungguh membuat kami merasa sayang untuk melewatkan moment ini.

Karena sudah mulai gelap, kami pun mencari tempat beristirahat yang datar dan aman untuk kami. Menu makan malam pun masih sama dengan menu tadi siang, hanya saja ada tambahan jamur rebus. Walaupun menunya sangat sederhana, namun tawa renyah kami malam ini mampu memberi rasa lain yang membuat kami tidak rela menyisakan makanan sedikitpun.

 Setelah kenyang, kami pun menyalakan api unggun lalu duduk disekelilingnya sambil memainkan beberapa permainan dan bernyanyi dengan diiringi gitar, dan setelah rahang kami puas tertawa, kami pun lalu memutuskan untuk beristirahat.

"Eh, tunggu dulu!" kata Rina tiba-tiba. "Sebelum tidur, tulis harapan kalian di atas kertas ini lalu buang ke dalam bara api unggun." lanjutnya sambil membagikan secarik kertas kepada setiap orang. Kuperhatikan wajah teman-temanku satu persatu. Ada yang menulis sambil tersenyum, ada yang berpikir keras sambil satu tangannya masuk ke dalam tas mencari-cari pulpen, ada yang mulutnya komat-kamit dan ada pula yang nyontek. Sungguh lucu melihat ekspresi mereka seperti itu.

Dikertas itu kutulis: "Tuhan, saya ingin mendapatkan kesempatan kedua bersama mereka. Suatu hari nanti saya ingin kembali lagi ketempat ini. Menyusuri kembali jalan setapak yang kami lalui tadi, menyanyikan lagu-lagu yang sama, menceritakan cerita yang sama, menyantap menu yang sama bahkan menatap wajah orang-orang yang sama seperti saat ini."

Kulipat kertas itu dan langsung membuangnya ke dalam bara api unggun yang sudah mulai meredup. Rupanya saya yang terakhir. Teman-temanku yang lain sudah dalam posisi masing-masing untuk mencari-cari tempat tidur yang nyaman sambil memegang sleeping bag. Ada yang saling berebutan tempat yang sama sambil dorong-dorongan dan ada juga yang jahil diam-diam memindahkan sleeping bag teman yang sedang pergi buang air kecil. Dari tempat dudukku, saya hanya bisa tersenyum memandang mereka.

Karena belum ngantuk, saya pun lalu merendam kaki di sungai kecil yang letaknya tidak jauh dari lokasi kami beristirahat. Wajah bulan yang bulat jelas sekali tergambar di atas air sungai yang sedang berlari. Begitu pula dengan puncak gunung yang ditutupi pepohonan yang daun-daunnya tiada lelah bergoyang mengikuti irama yang dibawa oleh angin.

Dari kejauhan keperhatikan sekali lagi wajah teman-temanku yang sedang tertidur pulas. Kutarik nafas dalam-dalam, kuingin alam ini bersahabat dengan aliran darahku. Tuhan.., betapa damainya hari ini. Betapa indahnya alam ciptaanMu. Merasakan lembutnya sentuhan alam dikeheningan malam dan mencium aroma persahabatan yang tercipta di sela-sela tidur mereka membuatku sadar akan satu hal. Sebenarnya bukan kesempatan kedualah yang saya butuhkan untuk bisa bersama-sama dengan mereka lagi.

Hidup itu seperti air yang sedang mengalir di atas sungai yang kecil ini. Dia akan terus mengalir ketempat lain tanpa bisa tahu apakah suatu hari nanti dia akan kembali mengalir di atas sungai yang kecil ini. Namun, satu hal yang akan diingatnya, bahwa dia tidak akan mungkin sampai di tempat tujuannya jikalau sungai yang kecil ini tidak membuka jalan baginya untuk mengalir.

Kuarahkan mataku ke langit diatasku. Teman itu seperti bintang dilangit, saya tidak akan selalu melihat mereka. Kadang mereka tertutup oleh awan, namun satu hal yang saya tahu, mereka ada diseberang sana mengingatku di dalam doanya. Yah.., itulah yang saya butuhkan dan yang harus saya lakukan. Mengingat mereka di dalam doaku. 

"Good night my friend. Have a nice dream!" Bisikku dalam hati sambil merebahkan diri diantara nyenyaknya tidur mereka.

Untuk semua teman-temanku

Untuk setiap inchi alam ciptaanNya

07 September 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun