Karmila Bachrun, No. 31
Alkisah didalam hutan, hiduplah seekor induk Rajawali beserta kelima anaknya yang masih kecil. Setiap hari sang induk dengan penuh kasih sayang merawat serta selalu berusaha mengenyangkan perut anak-anaknya dengan hasil buruan sang induk. Sang induk pun paham betul bahwa pentingnya untuk memunculkan naluri sebagai seekor burung kepada anak-anaknya, oleh karena itu sang induk pun mulai mengajar anak-anaknya untuk dapat terbang sedini mungkin.
Secara bergantian, tanpa lelah sang induk mulai melatih anak-anaknya untuk terbang. Selama berminggu-minggu anak yang pertama dilatih untuk mengepak-ngepakkan sayapnya dan juga bagaimana cara berburu mangsa untuk mendapatkan makanan.
Sang induk pun melakukan hal yang sama kepada anak kedua hingga anak keempat, sehingga keempat anaknya tersebut sudah dapat terbang dan mencari makanannya sendiri tanpa bantuan dari sang ibu lagi. Kini tibalah giliran si bungsu untuk dilatih terbang. Namun, si bungsu rupanya lebih suka bermain dihutan bersama teman-temanya.
“Tegar, ayo ikut ibu ke ke puncak pohon itu!” ajak sang ibu kepada anak bungsunya. “Ibu akan melatih kamu untuk terbang!” lanjut sang ibu.
“Ah, ibu, nanti saja. saya kan masih kecil jadi belajar terbangnya nanti saja yah, bu!” kata Tegar kepada ibunya.
“Baiklah, kalau begitu besok yah?” tanya ibu kembali
“Besok belum bisa ibu. Besok saya sudah janjian sama teman untuk bermain di air terjun!” jawab Tegar lagi dan langsung berlari menuju teman-temannya yang sudah menunggunya untuk bermain bersama.
Beberapa hari kemudian, sang ibu pun kembali mengajak si bungsu “Tegar, ayo kita ke puncak pohon itu!”
“Ibu, hari ini badan saya sakit semua. Saya mau istirahat dulu hari ini. Bolehkan, bu?” tanya Tegar kepada ibunya dengan memelas.
Begitulah Tegar selalu menghindar jika diajak oleh ibunya untuk belajar terbang. Dia lebih suka bermain bersama teman-temannya dan selalu saja ada alasan yang terucap dari paruh kecilnya untuk menghindar dari ajakan sang ibu.
Suatu hari ketika sedang bermain di tengah hutan, tiba-tiba terdengarlah teriakan dari hewan lain yang ada didalam hutan tersebut. “Kebakaran! Kebakaran hutan! Cepat selamatkan diri!” kata sang monyet yang sedang melompat diantara pepohonan.
Untuk sesaat lamanya, seluruh penghuni hutan panik dan berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Melihat burung lain yang terbang menyelamatkan diri, Tegar pun berusaha menggoyangkan sayapnya untuk dapat terbang. Namun, dia lupa kalau dia belum tahu bagaimana caranya untuk terbang. Akhirnya dia pun menyesal karena selama ini selalu menghindar jika akan diajar terbang oleh ibunya.
“Ibu! Ibu!” teriak Tegar berlari sambil menagis tiada henti. Sang Ibu dengan sigap mencengram Tegar dan membawanya terbang ke tempat yang aman dekat air terjun.
“Tegar, tunggu ibu disini. Ibu akan kembali masuk ke hutan untuk menolong yang lain!” kata Ibu lalu langsung terbang masuk kedalam hutan yang terbakar. Tegar hanya bisa memandang ibunya pergi lalu menghilang dibalik kepulan asap tebal.
Kebakaran hutan kali ini merupakan kebakaran yang paling parah hingga menyebabkan banyak hewan dan tumbuhan yang mati. Berhari-hari Tegar duduk disitu untuk menantikan kedatangan ibunya, namun sosok ibu yang ditunggu tidak kunjung datang.
“Ibu!” kata Tegar sambil meneteskan air mata.
Minggu berganti minggu, Tegar terus menangisi kepergian ibunya sambil memandangi wajahnya yang terpantul di air. Dia menyesal karena selama ini selalu membohongi ibunya dan tidak mau mendengar nasehat ibunya. Kini dia hanya sendirian berusaha untuk bertahan hidup tanpa ibu yang menjaga dan mengajarinya.
Berulang kali melihat beberapa burung yang terbang di atas langit, naluri Tegar pun mulai muncul. “Saya ditakdirkan untuk melihat dunia ini dari sisi yang berbeda!” katanya dalam hati. Dia lalu naik keatas batu dan menggerak-gerakkan sayapnya. Berulang kali dia berusaha untuk terbang namun selalu berakhir dengan beberapa benjolan dan memar ditubuhnya.
“Rajawali harus bisa terbang didalam badai sekalipun!” Tegar lalu teringat nasehat yang selalu diucapkan ibunya pada saat mengajar kakak-kakaknya dulu terbang. Nasehat ibunya inilah yang mendampinginya selama dia belajar terbang.
Berbulan-bulan lamanya dia berusaha keras untuk dapat terbang hingga pada akhirnya dia pun dapat melayang dengan sempurna diudara. Terbayang wajah ibunya yang sedang tersenyum kepadanya. Kini tiba saatnya bagi Tegar dewasa untuk melanglang jauh keangkasa.
“Ibu, saya sudah siap!” katanya sambil berdiri dengan gagahnya diatas puncak tebing yang tinggi. Dengan sekali hentakan kakinya yang kuat, diapun melompat ke udara, membentangkan kedua sayapnya dan terbang melintasi langit biru lalu menghilang dibalik awan.
NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H