Oleh: Karmel Simatupang
Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, sekutu pimpinan Amerika Serikat (AS) giat mempromosikan globalisasi, demokrasi, dan perdamaian dunia. AS yang tampil sebagai negara superpower secara ekonomi, politik dan militer, berkeyakinan bahwa dengan kerja sama internasional di berbagai bidang, terutama ekonomi, akan mampu mencegah perang dunia. Namun, sejak kemenangan Donald Trump sebagai Presiden ke-45 AS, disusul keluarnya Inggris dari Uni Eropa(Brexit), AS cenderung mengarah pada proteksionisme. Menariknya, Tiongkok justru giat promosikan globalisasi inklusif.
Memang tidak ada negara lain yang bisa melarang AS terhadap setiap kebijakan dalam negerinya karena itu sesuai kepentingan nasional dan kedaulatan negaranya. Namun dunia tampak sangat khawatir, proteksionisme Trump akan berdampak terhadap kemacetan perdagangan internasional yang selama ini telah saling berhubungan. Mengingat ekonomi AS masih salah satu kekuatan terbesar pasar ekonomi dunia, tentu kebijakan proteksionisme ini juga berdampak secara global.
Adalah defisit perdagangan dalam empat dekade terakhir menjadi alasan utama Pemerintahan Trump memproteksi dan menarik diri dari perdagangan bebas yang dibangun pendahulunya. Oleh karena itu, Trump ingin mengembalikan kejayaan AS dengan membentengi negeri dari produk-produk asing, sebaliknya memakai produk dalam negeri dan memperkerjakan rakyat AS sesuai kebijakan mengutamakan AS "American First".
Lebih jauh, AS dibawah Trump juga sudah keluar dari pakta perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), serta mengevaluasi ulang kesepakatan perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA). Mengenakan tarif tinggi terhadap produk-produk yang berasal dari Eropa dan Asia khususnya Tiongkok dan Jepang. Trump merasa AS 'dicurangi' sebab komoditi asing merajalela dalam pasar negeri Paman Sam itu, akibat tidak kompetitipnya komoditi AS. Karena itulah Donal Trump telah memerintahkan pemeriksaan detail kebijakan mitra dagangnya, produk per produk, negara per negara, yang menyebabkan produk AS tak bisa bersaing, (Kompas, 4/4/2017).
Administrasi Trump menyadari, bahwa globalisasi dan perdagangan bebas yang digalakkan pemerintahan AS selama beberapa dekade justru adalah salah satu penyebab kemunduran ekonomi AS. Pemerintahan Trump mengklaim, globalisasi lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat yang di dapat bagi perekonomian AS. Dengan kata lain, globalisasi menurut Trump seperti logika teori "zero sum game" yang satu mendapat manfaat, pihak lain tidak. Padahal, perdagangan, sebetulnya jelas bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Gejolak krisis finansial Tahun 2008 di AS dan berlanjut Tahun 2011 di Eropa yang masih terasa hingga sekarang menjadi pelajaran penting bagi AS, bagaimana para elit mapan mengacaukan ekonomi AS. Kesenjangan ekonomi masih cukup melebar di AS, sebagai akibat kebijakan kapitalisme pasar bebas. Itu sebabnya, Trump dikenal juga menolak kemapanan para elit, politisi dan pejabat. Sebaliknya, Trump seolah ingin mengangkat ekonomi kelas bawah. Hal itu pula yang melambungkan populisme Trump hingga memenangi Pilpres AS, karena dianggap sebagai penyambung lidah rakyat yang selama ini merasa dihempas oleh arus globalisasi.
Meski dunia belum mengetahui sejauh mana tindakan proteksionisme Trump, negara-negara berkembang Asia termasuk Indonesia, pasti terhambat aktivitas perdagangan internasionalnya, sebab Amerika masih menjadi tujuan utama ekspor sejumlah komoditi Indonesia. Selain itu, secara tidak langsung, jika produk-produk Tiongkok dibatasi ke AS, ekspor Indonesia ke Tiongkok juga akan ikut melambat, sebab Tiongkok adalah tujuan kedua paling besar ekspor utama Indonesia.
Ditengah kegalauan akan seperti apa masa depan ekonomi global dibawah Amerika dan Negara Barat lainnya, Tiongkok justru semakin mempromosikan perdagangan internasional dan membuka diri terhadap kerjasama ekonomi regional dan global. Kita melihat fenomena global saat ini ibaratnya AS dan Tiongkok, seperti tukar posisi. Pertumbuhan fantastis ekonomi Tiongkok hingga sekarang oleh banyak pakar memprediksi akan segera menggantikan AS dalam percaturan ekonomi global.
Sebelum Tiongkok menyuarakan komitmen untuk globalisasi seperti saat ini, sebenarnya Tiongkok juga pernah dikenal melakukan proteksionisme pasar di era 1990-an. Namun, seiring pertumbuhan ekonomi Tiongkok dalam 3 dekade terakhir, tentu sangat membutuhkan perluasan pasar dari limpahan produksi industri-industrinya. Singkatnya, Tiongkok memerlukan globalisasi baru untuk mewujudkan mimpi Tiongkok "The Chinese Dream": Tiongkok yang kuat, secara ekonomi, politik, diplomasi, ilmu pengetahuan dan militer, Tiongkok yang sejahtera dan bahagia, sebagaimana dicetuskan oleh Presiden Xi Jinping, sejak terpilih sebagai Presiden Tiongkok 13 Maret 2013 lalu.
Globalisasi baru