Oleh: Karmel Simatupang
“A GEOPARK is a nationally protected area containing a number of geological heritage sites of particular importance, rarity or aesthetic appeal. These earth heritage sites are part of an integrated concept of protection, education and sustainable development,” UNESCO (2006).
Inisiatif Geopark/Taman bumi Kaldera Toba (GKT) dimulai sejak awal tahun 2011 oleh Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan karena memiliki kaitan erat dengan sejarah pembentukan bumi ini. Ekspedisi Cincin Api Kompas September 2011, semakin mengungkap bahwa Gunung Toba yang memunculkan Kaldera Danau Toba pernah mengubah dunia.
Disambut oleh Pemerintah lokal dan provinsi serta sekelompok masyarakat sipil, inisiatif GKT pun dikukuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Geopark Nasional, (27/3/2014). Lalu, di daftarkan kepada Badan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) PBB, akhir Oktober 2014.
Asesor dari UNESCO dijadwalkan melakukan penilaian lapangan terhadap dokumen usulan (dossier) GKT tersebut, 8-14 Juli 2015. Harap-harap cemas, tetapi yakin, dibalik kerusakan ekologi Danau Toba tersimpan potensi menakjubkan. Air tawar menyerupai lautan dihiasi dinding-dingding kaldera ciptaan alam 74.000 tahun lampau. Batu-batu Toba yang menempel di setiap sudut kecantikannya siap diajak bercerita.
Kuatir, sebab luar-dalam fisik Danau Toba selama ini cenderung terabaikan. Meski berkali-kali diulas berbagai media dan para pencinta Danau Toba atas kerusakan dan minimnya infrastruktur kawasan ini, pemerintah belum mengambil kebijakan tegas. Dengan kata lain, pemerintah bersikap setengah hati. Padahal Danau Toba telah ditetapkan Kawasan Strategis Nasional, artinya objek vital Negara ini harus mendapat perhatian prioritas.
Warga lokal pun hanya menjadi pelengkap penderita atas investasi multinasional selama ini, jelas tidak menguntungkan Negara dalam jangka panjang. Salah satu poin, mudah menilai, kerusakan ekologi suatu kawasan di seluruh tanah air termasuk Danau Toba sekitarnya adalah konsekuensi kebijakan pemerintah bersifat eksploitatif, minus perlindungan. Alhasil, hari-hari berlalu dipastikan menuai kekecewaan, berikut ancaman bencana.
Sejarah Danau Toba sebagai satu-satunya supervolcano dunia, mengubah iklim global, menyimpan misteri masa dulu hingga kini, danau volcano terbesar dunia dan penyimpan cadangan air tawar terbesar dunia, eksistensi sosiokultural dan aneka flora-fauna di dalamnya, itulah alasan Danau Toba dipromosikan pemerintah sebagai Geopark Nasional dan didaftarkan ke Jaringan Geopark Global, UNESCO.
Lokalisasi Geopark
Geopark dalam artian lokal, tentulah membingungkan. Bukan hanya karena istilah geopark itu sendiri, tetapi juga defenisinya rumit dalam artian teknis. UNESCO, misalnya, menekankan pendekatan mesti berbasis bottom-up, dan mensejahterahkan masyarakat lokal dalam kawasan Geopark. Di sisi lain, kondisi masyarakat lokal saat ini, menurut diskusi dengan warga, tidak terlalu ambil perhatian pada isu ini, sebab pemerintah sering buat program ke Danau Toba, akan tetapi kandas sebatas wacana. Artinya, atensi masyarakat sesungguhnya otomatis mengikut tatkala inisiatif Geopark benar-benar mensejahterahkan warga dalam kenyataan.
Secara esensi, istilah Geopark perlu diterjemahkan dalam norma dan kepercayaan lokal. Seperti apa kondisi masyarakat sebelum dan kondisi modern kekinian. Konon, kehidupan nenek moyang orang Batak yang mendiami Kawasan Danau Toba, berinteraksi serasi dan harmoni. Alam menyediakan semua kebutuhan manusia secara gratis.
Manusia kemudian memelihara lingkungan dengan tradisi dan adat, antara lain berpantang menebang kayu sembarangan dan mengotori danau. Sebab kayu dan Air Toba bernilai sakral. Meludah saja pun ke danau adalah ‘dosa besar’ apalagi membuang sampah sembarangan. Menebang satu pohon, menanam tiga bibit pohon sebagai pengganti. Tanah yang subur memberi beras, buah dan sayur yang cukup bagi keluarga petani. Urusan lauk, tersedia ikan-ikan di danau yang segar bugar.
Sekian waktu berlalu, ‘orang luar’ mulai menyisir dan mengusik kecantikan Danau Toba dan harmoni di dalamnya. Mereka, berhasil ‘memainkan gendang’ yang membuat warga lokal menari-nari, hampir lupa, meski halamannya dicemari, kayu-kayunya ditumbang, kecantikannya kian kendur. Kendati gerakan penolakan kian terus disuarakan, pemerintah seperti tidak punya kekuatan dan lepas kendali menghentikan status quo ini. Diperlukan langkah luar biasa bagaimana kemudian mengembalikan keutuhan ciptaan.
Kembali ke Geopark. Dalam teori lokalisasi, menyatunya norma internasional dan lokal dibutuhkan keterlibatan tokoh lokal sekaligus memiliki bargain nasional. Tokoh yang dimaksud harus benar-benar dipercaya ‘steril,’ tidak punya andil dalam melegitimasi keberadaan perusahaan multinasional yang mereduksi lingkungan Danau Toba selama ini. Jika tidak, justru penolakan yang akan terjadi, menjadikan inisiatif Geopark seolah ditunggangi untuk tujuan politis atau proyek semata.
Mendefenisikan ulang geopark dalam terminologi lokal sebagai siasat menyelamatkan Danau Toba. Pengembangan ilmu pengetahuan dan riset berkelanjutan. Mengaplikasikan teknologi mutakhir, seperti ‘drone’ untuk perlindungan Kawasan Danau Toba secara berkala dari tindakan illegal. Riset berkelanjutan, mengenai vulkanologi, tsunami danau, hubungan keanekaragaman geologi dan biologi dan budaya. Menstrerilkan kembali Air Toba melalui teknologi canggih.
Adapun aktivitas geowisata sebagai bagian terpenting dari pengembangan wisata berkelanjutan dalam lokasi Geopark, harus dieksekusi cepat Pemerintah daerah ke-7 kabupaten. Dalam hal ini infrastruktur begitu penting. Jalan tol Medan-Kualanamu-Pematang Siantar hingga Parapat. Koneksi bandara internasional Kualanamu dengan Bandara Silangit (internasional) lebih intens sebagai pintu gerbang GKT.
Jadi intinya, Geopark adalah komitmen manajemen kawasan, melalui branding baru situs dunia. Manajemen berarti pertama-tama perencanaan, pengembangan kawasan secara berkelanjutan. Perlu ditegaskan, evaluasi akan dilakukan UNESCO pada setiap anggota Geopark Global sekali 4 tahun. Misi re-validasi dilakukan untuk memeriksa kegiatannya sebagai Geopark. Jika tidak sesuai dengan pengelolaan berprinsip lingkungan berkelanjutan keanggotaan dicabut.
Akhirnya, status Danau Toba sebagai Geopark Nasional dan mengejar status Jaringan Geopark Global dibawah payung UNESCO, tidak otomotis dapat menyelamatkan Danau Toba dari kerusakan lingkungan. Akan tetapi, status ini menjadi dasar komitmen menyelamatkan situs dunia GKT secara komprehensif, utamanya bagi pemerintah pusat dan daerah dalam mengambil kebijakan pro-lingkungan dan pro-kesejahteraan lokal dan mendukung agenda 21. ***
Penulis, anggota Pendiri Perhimpunan Jendela Toba. Saat ini Mahasiswa S2, Hubungan Internasional, Tunghai University, Taiwan.
Sumber, Analisadaily.com, Sabtu, 11 Juli 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H