Menyoal soal peranan media sosial, Â setidaknya ada dua faktor utama kenapa hoaks mudah berkembang biak di platform medsos, yang pertama media sosial memfasilitasi berita benar dan berita salah. Teknologi informasi tidak bisa membedakan mana informasi yang benar mana informasi yang salah. Ini bukti bahwa teknologi sangat bergantung pada manusia sebagai instrukturnya.
Kedua, faktor pengetahuan seseorang. Hal ini berdampak pada preferensi individu atau kepercayaan sendiri, jika informasi memenuhi unsur ketakutan, atau cocok dengan apa yang di pikirkan, serta apa yang sudah diketahui maka berdampak pada berkurangnya skeptisme.
Sejatinya bila dicermati, hoaks yang terbesar banyak tidak masuk akal, bahkan cenderung lelucon. Namun, dikarenakan psikis/emosional kita dipenuhi kecemasan, maka hoaks tersebut pun sukses menipu masyarakat. Contohnya saja hoaks tentang "Virus Corona yang menyebar lewat Hp Merk Xiaomi".
Selain itu, Kebebasan memproduksi informasi ini menyebabkan hilangnya syarat-syarat utama penulisan informasi sesuai etika jurnalistik. Hal tersebut melahirkan hoaks.
Andi Faisa Achmad, Kasubdit Standarisasi Teknologi Informasi Ditjen SDPPI Kominfo pernah mengungkapkan bahwa Indonesia di peringkat 56 dari 63 negara perihal literasi digital.Â
Dilansir detik, ia menjabarkan bahwa negara kita  merupakan pengguna internet dengan jumlah besar yakni 171 juta jiwa, selain pasar smartphone yang sangat besar. Namun literasi digitalnya ketinggalan jauh.
Pernyataan itu sendiri merujuk pada data Global World Digital Competitiveness Index.
Lalu Bagainana meningkatkan kemampuan kita perihal literasi digital?
Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax Septiaji Eko Nugroho menguraikan setidaknya terdapat  lima langkah sederhana yang bisa membantu dalam mengidentifikasi mana berita bohong dan mana berita asli. Berikut penjelasannya.
1. Hati-hati dengan judul provokatif
Berita hoaks seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoaks.