Mohon tunggu...
Karman Mustamin
Karman Mustamin Mohon Tunggu... profesional -

Achieved a certificate from Jim Russell Racing Drivers School (JRRDS) at Donington Park, in 1993 and held a single seated racing drivers licensed from Royal Automobile Club (RAC), UK.\r\nFounder Smart Driving Institute (SDI). SDI particularly motivating and learning to the road user how to come as a low risk drivers and also develop their driving behavior.\r\nFollow me on twitter: @karman_mustamin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Menjadi Hakim di Jalan

19 Agustus 2011   06:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:39 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu yang salah. Saya kan di lajur utama?" Begitu penggalan kalimat yang dilontarkan seorang pengemudi kepada pengemudi lainnya. Kalimat itu lantas diikuti dengan rentetan sumpah serapah. Bahkan, ia nyaris melayangkan bogem mentah kepada pengemudi satunya yang hanya terdiam seribu bahasa, andai saja tidak dicegah oleh salah satu orang yang ikut berkerumun.

Apa sebenarnya yang terjadi hingga pengemudi itu demikian marah? Dari situasi di tempat kejadian, mudah dimengerti bahwa mobil kedua pengemudi ini baru saja terlibat saling tabrak. Itu terlihat dari kondisi kedua mobil yang ringsek.

Di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, kejadian seperti ini sudah menjadi pemandangan keseharian. Bahkan dianggap sebagai hal yang lumrah. Persoalannya, haruskah hal semacam ini dibiarkan terus terjadi? Haruskah konfrontasi di jalan menjadi bagian dari kebiasaan kita berkendara?

Konfrontasi di jalan yang seakan menjadi kelaziman ini, sesungguhnya berakar dari kesalahan pemahaman kita tentang beraktivitas di jalan, terutama aktivitas mengemudi atau berkendara itu sendiri. Bahkan kesalahan pemahaman ini juga tak urung diperkuat oleh aturan maupun regulasi yang sesungguhnya hanya mengacu pada pertimbangan benar atau salah.

Contoh sederhana, peristiwa tabrak belakang. Regulasi dan pemahaman umum yang ada menyebutkan, kendaraan yang menabrak dari arah belakang otomatis dinyatakan bersalah. Dalam konteks ini, secara langsung sudah terjadi penghakiman. Meskipun kemudian faktanya, kecelakaan dimaksud justru dipicu oleh kelalaian pengemudi kendaraan di depan.

Kemungkinan ini bisa saja terjadi. Misalnya, seorang yang sedang mengemudi kehilangan konsentrasi karena melakukan aktivitas lain. Sebut saja, menelpon atau menulis teks SMS di saat berada di belakang kemudi (texting while driving). Akibat kehilangan konsentrasi atau kaget, si pengemudi kendaraan di depan tiba-tiba melakukan pengereman mendadak. Sementara di saat yang sama, mobil yang membuntuti di belakang juga tidak siap sehingga tabrakan pun terjadi.

Siapa yang salah? Ini tentu akan menimbulkan perdebatan panjang. Pengemudi kendaraan di belakang, bisa saja melontarkan argumentasi: "Anda sih, tiba-tiba nge-rem mendadak padahal di depan gak ada apa-apa?"

Di beberapa negara, regulasi memang juga mensyaratkan bahwa pengemudi yang membuntuti harus menjaga jarak dengan kendaraan di depannya. Rumusan yang sering dipakai, yakni jarak minimal dua detik waktu tempuh. Penggunaan satuan waktu ini, didasari alasan bahwa manusia butuh waktu sekitar 1 detik untuk menganalisis peristiwa yang dilihatnya sebelum melakukan reaksi. Sedangkan waktu 1 detik sisanya, dialokasikan sebagai waktu mekanis sistem pengereman pada kendaraan.

Regulasi itu juga menyebutkan, jarak membuntuti yang terlalu dekat bisa dikatagorikan sebagai sebuah pelanggaran. Tailgating, disebutkan pula sebagai tindakan  yang mengarah pada intimidasi terhadap pengemudi lainnya.

Aturan ini, jelas sangat sulit diaplikasi pada situasi lalu lintas di Jakarta atau beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Bahkan, hal itu tetap saja sulit diaplikasi di jalan tol yang nota bene juga padat. Bayangkan, waktu 2 detik pada kendaraan yang melaju dengan kecepatan 60 km/jam, sama saja dengan jarak sekitar 34 meter. Cobalah terapkan aturan ini di Jakarta, maka Anda akan mendengarkan bunyi klakson riuh rendah dari rangkaian kendaraan di belakang Anda.

Mengacu pada kasus-kasus seperti ini, maka dalam beberapa tahun terakhir, Smart Driving Institute (SDI) yang didirikan pada tahun 2006 silam, mencoba menyusun formulasi yang sesuai atau setidaknya mendekati kondisi lalu lintas di Indonesia. Formulasi ini, mengacu pada prinsip-prinsip dasar defensive driving dengan turut mempertimbangkan persoalan budaya, kebiasaan atau behavior dan attitude atau perilaku pengguna jalan. Ini juga dipengaruhi oleh fakta, bahwa regulasi yang dituangkan dalam aturan-aturan berlalu lintas, selama ini hanya efektif di saat ada petugas yang mengawasi di lapangan.

Formulasi SDI, pada prinsipnya mencoba mengedepankan prinsip defensive dalam aktivitas mengemudi. Artinya, dengan mempertimbangkan berbagai ancaman yang ada di jalan saat ini, seorang pengemudi justru dituntut bersikap defensive dan bukan sebaliknya, offensive.

Defensive, dalam prakteknya adalah sikap atau perilaku mengemudi yang mengedepankan prinsip menghindari insiden yang lebih sering berakhir dengan accident. Secara sederhana, bisa digambarkan bahwa bila seorang yang bermaksud menyerobot atau memaksa masuk ke lajur Anda, maka langkah pertama yang Anda harus pikirkan adalah bahwa lajur itu memang bukan milik Anda sendiri. Dengan pemikiran seperti itu, Anda dengan mudah memberi kesempatan atau waktu kepada pengemudi yang menyerobot dimaksud untuk menggunakan lajur Anda.

Apakah Anda lantas merugi dengan sikap mengalah itu, padahal Anda merasa di lajur yang benar dan bisa saja terus merangsek menghalangi si penyerobot? Jawabannya, Anda justru jauh lebih merugi bila keinginan mempertahankan prinsip ‘saya benar’ itu Anda lakukan dan berakhir dengan insiden atau bahkan accident. Selain kerusakan property berupa mobil yang ringsek, Anda juga akan kehilangan waktu dengan sia-sia. Bahkan lebih jauh lagi, Anda kemungkinan terlibat konfrontasi fisik.

Sebaliknya, dengan memberi jalan kepada si penyerobot, Anda mungkin hanya akan kehilangan waktu 1 detik. Waktu yang singkat ini, sangat tidak berarti dibandingkan dengan sisa 86.399 detik yang masih Anda miliki dalam sehari. Kesimpulannya, prinsip benar atau salah itu harus dijauhkan dari aktivitas di jalan. Sebaliknya, mulailah dengan paradigma bahwa setiap yang insiden di jalan, maka pihak yang terlibat akan merugi. Be smart before you drive.

salam,

@karman_mustamin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun