Seperti tidak/belum konsistennya saya menulis untuk aktif saja masih banyak kendala. Sebenarnya kalau tidak aktif itu saya akan rugi karena saya jadi tidak bisa membaca artikel beragam dari  Kompasiner, bertegur sapa walaumhanya lewat komentar, yang pasti saya akan melewati yang sedang terjadi di Kompasiana.
3. Gampang patah semangat.
Kalau tulisan sedikit yang baca jadi patah semangat, tulisan tidak menjadi pilihan -- saat belum ceklis biru tidak otomatis pilihan -- jadi patah semangat, tidak tersematkan sebagai artikel utama jadi patah semangat, diibaratkan kalau sebagai kekasih saya itu baperan dan sensitif gampang sekali sedih karena patah semangat.
Padahal seharusnya saat tidak mencapai sesuatu maka dijadikan penajam agar mental sebagai penulisnya terasah dan tajam.Â
Seperti filosofi pensil yang dikemukakan Paulo Coelho jika pensil ingin tajam harus mau melewati pensil diraut oleh benda tajam. Sama juga dengan mental penulis agar kuat, terasah, dan tajam harus mau melewati kegagalan-kegagalan.
4. Belum pernah memenangkan kompetisi.
Selama hampir setahun saya belum pernah memenangkan kompetisi apapun. Saya mengakui bahwa artikel saya belum mumpuni berbeda dengan Konpasiner  senior. Disamping itu saya memang jarang juga mengikuti kompetisi jadi memang (sangat) tidak terasah.
5. Tulisan yang masih sederhana sehingga masih dalam kategori "B aja".
Tulisan/artikel yang saya tulis masih tentang hal sederhana, seringkali pembahasannya tidak jelas, pemilihan kata yang buruk, ulasan yang muter-muter menghiasi artikel yang saya tayangkan sehingga masuk ke dalam kategori "B aja".
Kelebihan:
Kelebihan yang saya miliki adalah pencapaian yang saya raih selama jadi Kompasinaer.
1. Centang biru.
Saya tidak tahu kapan akun yang awalnya centang hijau berubah jadi biru. Sematan centang biru memberikan rasa senang, bangga, sekaligus malu.
Senang karena saat disematkan centang biru keberadaan saya sebagai Kompasianer diakui oleh Kompasiana. Bangga karena walau artikel yang ditayangkan sederhana dan begitu-begitu saja tetapi didorong oleh Kompasiana agar lebih baik. Saya juga sekaligus malu karena centang birunya belum teruji sangat berbeda dengan Kompasianer centang biru lain yang sudah mumpuni.
Tetapi bukan berarti lantas selesai justru rasa malunya harus digunakan sebagai bahan bakar pendorong agar jadi lebih baik hingga patut menyandang centang biru.
2. Headline/Artikel Utama
Saya belum bisa memperkirakan artikel seperti apa yang bisa diganjar sebagai artikel utama atau headline. Walau belum banyak seperti kompasianer lain setidaknya saya sudah 17 kali mendapat sematan artikel utama.