Tema artikel kali ini adalah semangat keragaman semarakkan Ramadan tahun ini. Saya tidak akan membahas keragaman karena perbedaan keimanan, perbedaan status sosial, perbedaan kedudukan. Saya juga tidak akan bahas keragaman yang terjadi di masyarakat atau malah negara, saya hanya akan membahas keragaman dalam lingkup kecil yaitu keluarga.
Di keluarga (berbadan) besar saya -- kecuali si bungsu yang mungil -- itu sangat beragam. Saya suka membahasakan dengan berbeda bagai langit dan bumi. Bahasan berbeda langit dan bumi ini pernah si sulung bahas dan membuat saya memiliki konsep baru tentang itu.
Awalnya berbeda bagai langit dan bumi saya konotasikan dengan perbedaan yang merugikan, buruk, tidak baik, dan pemecah belah. Konsep itu berubah saat berbincang dengan si sulung.
Sulung saya bilang bahwa konsep langit dan bumi itu tidak buruk karena akan ada kehidupan kalau ada langit dan bumi bukan langit semua atau bumi semua. Saya pikir benar juga, sejak itu konsep berbeda bagai langit dan bumi saya konotasikan sebagai penyempurna atas keberadaan satu dengan yang lainnya bukan malah penyebab pemecah belah menyebabkan ketiadaan satu dan yang lainnya.
Kami berempat di rumah itu nyaris di banyak hal memiliki keragaman walau banyak juga irisan persamaan. Keragaman terutama jika tentang pendapat sering kali membuat situasi berisik, gaduh, tidak jarang pertikaian tentu maksudnya antara si sulung dan si bungsu, atau saya dengan si sulung, atau saya dengan si bungsu. Suami saya selalu jadi pihak netral bagi siapapun. Tetapi tidak jarang keragaman kami justru membuat kami menjadi berwarna dan hidup menjadi lebih seru.
Memang keragaman bukan tentang masalah prinsip terutama si bungsu masih bertanya jika tentang prinsip hidup, keimanan, dan ibadah kepada saya dan suami sebagai orang tua. Untuk si sulung dia sudah punya pegangan dan rujukannya sendiri dan kami sebagai orang tua mengijinkan asal apa yang dia lakukan bukan asal-asalan tetapi didasari ilmu lalu diamalkan.
Kearagaman dari yang terkecil sampai yang terbesar banyak menjadi ciri khas keluarga saya. Misalkan cara berpakaian kami saat pergi jalan-jalan beragam. Saya karena ibu-ibu maka gaya standar ibu-ibu berjilbab tidak ada yang aneh, suami saya lebih senang bergaya santai, kalau jalan-jalan lebih senang pakai celana pendek dan sandal jepit -- gayanya sering saya dan anak-anak protes -- si sulung standar anak usia 20 tahun, si bungsu yang sangat modis selalu lucu bergaya apapun karena ditunjang badannya yang mungil.
Bulan Ramadan ini juga keluarga saya banyak menunjukkan keragaman dalam menjalaninya. Misalnya saat berbuka ritual yang dijalani beragam. Seringkali saya lebih suka makan kurma atau air bening dulu, setelah sholat baru makan berat. Berbeda dengan suami, si sulung dan si bungsu mereka saat berbuka langsung makan berat.
Begitu juga dengan taraweh, karena tidak selalu melaksanakan taraweh di masjid maka saya, si sulung dan si bungsu lebih suka sebelum tidur taraweh sudah dilaksanakan, suami kadang tidur dulu, serta contoh keragaman kami yang lainnya. Keragaman yang kami miliki justru memberikan nuansa semarak saat kami menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Keragaman yang dilaksanakan di rumah ternyata memberikan efek saat anak-anak berada di luar lingkungan rumah. Mereka jadi terbiasa jika ada yang berbeda dengan mereka dari segi apapun. Mereka tahu bahwa walau orang lain berbeda mereka tetap harus menghargai dan menghormati, tidak saling mencela apalagi merasa lebih baik dari yang lain.
Perbedaan bahkan jika sampai berbeda bagai langit dan bumi justru di situ ada kehidupan karena perbedaan sebenarnya penyempurna bukan malah menjadi pemecah belah.
Semoga pada bulan Ramadan yang penuh berkah dan suci ini apapun keragaman yang dimiliki bangsa ini menjadi penguat dan penyempurna tegaknya bangsa dan negara yang besar ini bukan malah sebaliknya.
Karla Wulaniyati untuk Kompasiana
Karawang, Kamis 30 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H