Mohon tunggu...
Karla Wulaniyati
Karla Wulaniyati Mohon Tunggu... Lainnya - Senang Membaca dan (Kadang-kadang) Menulis di karlawulaniyati.com

Let the beauty of what you love be what you do (Rumi)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dagelan Politik

13 Januari 2019   12:26 Diperbarui: 13 Januari 2019   13:29 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya saya merasa belum pantas menyematkan kategori politik pada artikel saya ini. Artikel saya ini bukan analisis atas apa yang terjadi dalam kehirukpikukan di arena politik, bukan juga edukasi kepada yang lain agar lebih mengerti politik tetapi artikel saya hanya tulisan yang berisi keresahan, ketidaktahuan, tulisan ringan yang biasa-biasa saja.

Kalau artikel diibaratkan makanan maka artikel pakar/pengamat politik yang menulis di Kompasiana adalah makanan utama, sedangkan saya adalah remeh dari makanan utamanya. 

Karena kemarin saat saya menulis tentang bagaimana saya jongkok memahami politik bisa ditayangkan di Kompasiana jadi saya pikir tulisan remeh pun boleh ditayangkan, jadi kali ini saya akan menulis lagi artikel ringan tentang politik.

Saya sangat jarang bahkan bisa dibilang cenderung tidak pernah melihat tontonan debat, bincang politik dan yang senada dengan itu. 

Semalam setelah menonton Keluarga Cemara di bioskop dengan keluarga saat rebahan menunggu mengantuk dan mata terpejam suami menonton acara bincang politik Rosi di Kompas TV.

Saya sudah antipati dan tidak berniat melihat tetapi kok ini beda, karena yang datang Capres No 10 Nurhadi, tema bincang-bincangnya saja bikin saya mematut menyaksikan bincang-bincangnya, "Politik tronjal tronjol menolak fanatisme buta pada capres."

Peserta bincang-bincangnya selain Capres (fiktif) Nurhadi --- saat mengetik fiktif saya nyengir karena ingat kelucuannya --- ada Kang Maman, Sujiwo Tejo, Muhaimin Iskandar, Sudirman Said, dan Burhanudin Muhtadi.

Karena berbeda atmosfir bincang politiknya saya jadi ikutan suami menyaksikan, saya sering cekikikan kalau capres fiktif, kang Maman, dan Sujiwo Tejo bicara karena lucu, cerdas, dan pesannya kuat padahal dibungkus dengan bahasa satire. Peserta bincang malah sampai cekakakan lepas, walau saya tidak tahu mereka tertawa karena kelucuan celotehan Nurhadi atau menertawakan apa yang sedang terjadi di arena politik. Saya malah jadi melihat dagelan dari bincang yang disajikan.

Menurut KBBI dagelan adalah lawakan, pertunjukkan jenaka. Saya mendapati itu di acara bincang tadi malam. Sangat menghibur lalu saya berpikir ternyata politik tidak sesulit yang saya kira dan mungkin ini titik saya meningkatkan level memahami politik yang tadinya jongkok jadi lebih mengerti dan tidak jongkok lagi.

Karena yang datang juga ada yang lain dan mereka memang berkecimpung di politik maka sisi politiknya juga dibahas dan saya mendapatkan pola saat saya menonton acaranya. Saat Nurhadi dan Kang Maman bicara saya nyengir dan cekikikan, saat yang lain bicara saya merengut berusaha memahami apa yang disampaikan.

Saat membahas hoax yang meruncingkan suasana terutama di media sosial, juga pembahasan golput yang sebenarnya merugikan karena berapapun yang mengikuti pemilu tetap dinyatakan sah hasil pemilunya, dan bahasan lain tentang politik saya pasti merengut mendengarkannya.

Untuk yang memiliki usia seperti saya dimana kolagen berkurang yang menyebabkan jika merengut akan berakibat menambah kerutan lalu menambah garisan kerutan di dahi saya maka hal itu tidak menyenangkan.

Walau isi perbincangan tidak ada perundungan, ujaran kebencian, saling menyalahkan tapi ketajaman perbincangan politik tetap ada. Jadi yang awalnya saya pikir dengan munculnya dagelan politik ala Nurhadi sebagai pelengkap panggung politik yang panas, serius, dan banyak lika-likunya tapi ternyata politik tetap politik walau kadang saya melihat kelucuan juga saat mendengar penjelasan para pakar politik tetapi kelucuan yang berbeda dari yang disajikan Nurhadi sang capres fiktif itu.

Tetiba saya jadi bertanya apa saya salah menyematkan dagelan politik, yang semula saya pikir dagelan politik ditampilkan oleh capres dengan no 10 yang merupakan capres fiktif yang berhasil mengulur ketegangan yang terjadi dari capres resmi lewat guyonan-guyonannya tetapi ternyata dagelan politik terjadi justru di arena sungguhan yang akan mengusung pemilihan resmi menentukan pemimpin bangsa dan negara tercinta ini.

Ternyata saya tetap tidak mengerti dan memutuskan sekarang ini tetap jongkok saja dalam memahami politik, daripada kerutan di dahi bertambah karena merengut kalau berusaha memahami politik.

Karla Wulaniyati untuk Kompasiana
Karawang, Ahad 13 Januari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun