Aku berlari tergesa-gesa. Seingatku jarak sekolah dan rumah tidak pernah sejauh ini, tapi kenapa seperti tak kunjung sampai padahal sudah berlari sekencangnya.
"Assalamualaikum." Aku melempar tas, sepatu, kaos kaki.
"Waalaikumsalam." Ibu tidak berkata apa-apa hanya berdiri dihadapanku.
"Iya, aku akan rapikan." Kataku kesal karena ibu tidak mengerti kalau aku terburu-buru.
Setelah selesai makan aku pamit pada ibu untuk keluar rumah. Sudah hampir sebulan aku pergi ke warung lotek bu Asih sepulang sekolah. Membantu bu Asih melayani pembeli, membersihkan meja dan bekas makan, juga mencuci alat makan yang sudah digunakan.Â
Aku bekerja di warung bu Asih untuk mendapatkan uang lebih karena aku perlu membeli sesuatu. Ibu dan ayah mengijinkan aku bekerja karena hanya untuk sebulan saja dan kebetulan bu Asih perlu orang yang membantu setelah  mbak Ima ijin pulang ke kampung dulu karena orang tuanya sakit.
"Besok aku gajian kan bu ?" tanyaku pada bu Asih setelah warungnya tutup karena lotek sudah habis.
"Iya, untuk apa sih uangnya sampai harus membantu ibu segala ?" tanya bu Asih penasaran.
"Ada yang harus dibeli bu dan aku tidak mau meminta pada ayah dan ibu." Aku nenaikkan kursi-kursi plastik ke atas meja, lalu pamit untuk pulang.
###
Uang hasil kerjaku membantu bu Asih di warungnya sudah ku pegang. Ditambah dengan uang yang kupunya cukup untuk membeli keperluanku.
Aku mendorong bawaanku dengan susah payah karena berat, mana perjalanan ke tempat yg dituju lumayan bikin ketekku basah.
Sesampai di tempat yang dituju ada tiga orang adik kecil berlari menghampiriku. Mereka tahu aku akan datang karena sudah berjanji.
"Kakak datang, kakak datang." Mereka berlari, meloncat-loncat, gembira menyambutku.
"Apa ini ? apa ini ?" mereka berebut mendorong bawaanku.
Aku sampai di sebuah rumah sederhana. Temboknya dari bilik, lantainya masih tanah. Rumah kecil dengan 7 orang penghuninya. Ayah, ibu dan 5 orang anaknya.
Anak pertama laki-laki, lepas SMP berhenti dan bekerja untuk membantu orang tua. Yang kedua perempuan, tidak sekolah, pendiam, senangnya memakai topi yang sudah kumal. Tidak bisa berjalan kata orang tuanya saat usia 4 tahun tetiba lumpuh hingga sekarang. Karena keterbatasan ekonomi mereka tidak bisa membawa anak manis bertopi kumal itu untuk berobat, sehingga mereka hanya pasrah pada keadaan. Anak ketiga sampai kelima berselang seling laki-laki, perempuan, dan laki-laki.
Pertemuanku dengan gadis bertopi kumal saat aku pulang sekolah dan tidak melalui jalan yang biasa aku lalui. Saat tiba di depan rumahnya si gadis bertopi kumal sedang duduk di depan rumah. Awalnya aku tidak perhatikan, lama kelamaan aku dan dia sering bertukar senyuman. Hingga akhirnya aku berani menyapa dan memgenalkan diri.
Satu hari aku bertanya padanya apa yang paling diinginkan.
"Aku ingin bisa berjalan-jalan, tapi kasihan kalau abang atau ayahku jika harus menggendongku, berat." Raut mukanya memperlihatkan kesedihan.
"Lalu kau ingin apa lagi ?" tanyaku lebih lanjut.
"Aku ingin main kembang api bersama adik-adikku saat pergantian tahun kali ini kak, tapi kan tidak mungkin karena membeli kembang api itu tidak murah. Uang untuk makan saja sering tidak cukup apalagi untuk beli kembang api pasti tidak akan bisa beli." Katanya lagi.
Aku lalu mencari tahu dimana bisa membeli kursi roda, tidak harus yang baru asal bisa digunakan. Aku dapat kabar kalau kakek diujung perumahanku akan menjual kursi rodanya karena akan dibelikan kursi roda baru oleh anaknya.
Jadi aku ingin beli kursi roda, kembang api, mie instan, kue, susu kotak, dan telur yang akan digunakan berpesta kembang api dengan gadis manis bertopi kumal beserta keluarganya.
Aku perlu uang sekitar 800rb an, kursi roda aku bisa beli dengan harga 500rb setelah tahu aku ingin membelikan seseorang. Dan 300rb untuk keperluan lain. Karena aku punya tabungan yang kukumpulkan selama setahun sekitar 400rb maka aku perlu kekurangannya 400rb, itulah sebabnya aku bekerja di warung lotek bu Isah sebulan kemarin. Aku diberi pas 400rb oleh bu Isah padahal aku tidak  meminta berapa upah yang harus diberi saat membantu bu Isah.
###
Si gadis manis bertopi kumal terlihat bahagia memegang kembang api sambil duduk di atas kursi roda. Sementara adik-adiknya berlarian sambil memutar-mutar kedua tangan yang memegang kembang api. Ayah mengawasi anak-anaknya sedang ibu menyiapkan mie instan dan makanan lainnya. Mereka terlihat gembira dan bahagia.
Bukan masalah kembang apinya yang berharga tetapi melihat orang lain bahagia adalah perasaan terbaik yang baru aku rasakan dan itu melebihi apapun. Tahun baru 2019 dimulai dengan cerita bahagia gadis manis bertopi kumal dalam perjalanan hidupku.
Karla Wulaniyati untuk Kompasiana
Karawang, Senin 31 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H