Sore ini saya ingin menayangkan tulisan kategori humaniora dan ini tulisan ketiga pada hari ini untuk melengkapi dua artikel sebelumnya yaitu kategori hobi saat pagi dan kategori puisi siang harinya. Â
Artikelnya membicarakan konsep keutuhan yang terbentuk karena hal yang berlawanan. Dipicu kolaborasi menulis antara saya dan si sulung. Kolaborasi menulis antara saya dan si sulung di Kompasiana baru sekali dilakukan yaitu saat menyambut Hari Ibu.
Ada yang berkomentar karakter kami berbeda. Saya melakukan pendekatan akal sedangkan si sulung kaya pendekatan dengan hati. Saya menangkapnya kolaborasi kami tidak nyambung sampai saya ingat konsep keutuhan bahwa keutuhan seringkali terjadi dari hal yang berlawanan.
Jika ingin utuh dan sempurna manusia harus memiliki akal --- akal adalah pembeda dengan makhluk lain --- dan juga hati yang memperlihatkan sisi kemanusiaannya.
Kesuksesan diutuhkan oleh kerja keras, kebahagiaan oleh kesedihan, bahkan cinta yang memesona diutuhkan oleh nestapanya rindu dan cemburu.
Jangan berburuk sangka jika pasangan suami istri bagai langit dan bumi. Karakter contohnya istri orangnya rapi sedang suami rapi adalah tabu, hehehe. Istri orangnya pelupa suami pengingat yang sangat detil. Istri orangnya perencana setiap hal, suami seorang yang mengikuti saja arahan hidup seperti air mengalir.
Selain karakter banyak suami dan istri yang memiliki kesukaan berbeda, suami senang kegiatan luar ruangan seperti bersepeda, outbound, kemping, dan sebagainya sedangkan istri senangnya kegiatan dalam ruangan contohnya nge mall.
Seringkali perbedaan suami dan istri dijadikan alasan untuk pertengkaran bahkan perpisahan. Padahal sejatinya perbedaan bisa memperkaya keberagaman suatu keluarga karena saling melengkapi kekurangan mengisi ruang kosong yang dipunyai pasangannya.
Sebenarnya Yang Maha Mengetahui memberikan pasangan terbaik walau terlihat berbeda bagai langit dan bumi --- bukankah kehidupan berlangsung jika ada langit dan bumi, bukan bumi dan bumi, atau langit dan langit --- karena pasangan yang diberikan adalah yang terbaik sebagai jalan dalam pengumpulan bekal untuk kepulangan ke akherat nanti. Namun kita yang seringkali berburuk sangka karena  keterbatasan kita akan hikmah dari apa yang terjadi pada diri.
Jadi jika saya dan si sulung memiliki karakter yang berbeda dalam menulis bukan menjadikan kami tidak menyatu tetapi justru mengutuhkan rasa yang bisa ditampilkan. Pendekatan akal didapat dari tulisan saya yang diutuhkan oleh rasa yang berasal dari hati yang didapat dari tulisan si sulung.
Karla Wulaniyati untuk Kompasiana
Bandung, Rabu 26 Desember 2018