Mohon tunggu...
Karla Wulaniyati
Karla Wulaniyati Mohon Tunggu... Lainnya - Senang Membaca, (Kadang-kadang) Menulis, Menggambar Pola/Gambar Sederhana

Let the beauty of what you love be what you do (Rumi)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nilai Raportku Tidak Cemerlang

15 Desember 2018   09:08 Diperbarui: 15 Desember 2018   15:55 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Dokpri

Sabtu pagi ini manis sekali. Mentari ramah saat muncul, udara sejuk, air lancar mengalir yang membuat acara mencuci bebas hambatan --- untuk saya air lancar dan acara cuci mencuci tanpa hambatan itu berkah ... Hehehe ---  dan yang membuat jadi manis sekali adalah liburan sudah dimulai ... Horeeee.

Saya jadi ingat beberapa hari lalu si bungsu dibagi raport. Yang masih mengalami raport dan permasalahannya tinggal si bungsu yang sekarang kelas X SMA karena si sulung sudah semester 3 kuliahnya jadi tidak repot oleh raport lagi.

Saat pembagian raport diambilkan oleh ayahnya. Setelah pekerjaan saya di sekolah selesai saya baru melihat raport si bungsu.

Si bungsu berulangkali bertanya apa saya ibunya dan ayahnya kecewa dengan nilai raportnya padahal berulangkali juga saya dan suami bilang padanya kami bangga atas pencapaian nilainya yang penting dia bisa mengikuti pelajaran dan sudah sebaik mungkin dalam belajar.

Dia lalu cerita bahwa teman-temannya kena marah orang tuanya karena nilai raport tidak sesuai harapan dan dia heran kenapa saya dan suami tidak marah seperti orang tua yang lain padahal menurutnya nilainya tidak cemerlang seperti teman yang nilainya besar --- nilai yang didapat si bungsu paling kecil 80 --- dan lagi ada teman dekatnya masuk 10 besar sedangkan si bungsu tidak dapat rangking sama sekali.

Rangking sampai sekarang memang masih menjadi perbincangan seru saat pembagian raport. Tapi saya tidak bisa ikut perbincangan masalah rangking karena anak-anak saya jarang mendapatkan rangking yang bergengsi.

Saya tidak pernah mengharuskan mereka mendapatkan rangking asal mereka bisa mengikuti pelajaran di sekolah, belajar dan berusaha sebaiknya itu sudah cukup.

Saya tidak mau mereka sejak dini sudah dibebani yang sebenarnya saat mereka nanti bertemu dunia nyata --- saat mereka bertanggungjawab sepenuhnya pada diri mereka sendiri --- rangking tidak sepenuhnya membantu mereka menyelesaikan kesulitan hidup yang dihadapi.

Untuk mendapatkan rangking anak kadang tertekan dengan berbagai hal, sekolah yang sudah sangat melelahkan tidak jarang sampai senja setelahnya harus ikut les, di rumah masih harus belajar sampai larut malam semua itu dilakukan untuk menebus agar mendapat rangking bergengsi.

Yang menyedihkan adalah kalau anak sudah berusaha sekuat tenaga tetapi ternyata tidak mendapat rangking berakibat anak kena sidang dan kemarahan orang tua.  

Tidak jarang anak mendapatkan rangking yang bergengsi sebenarnya sebagai pemenuhan kebutuhan orang tua agar terlihat menjadi orang tua yang berhasil karena memiliki anak pintar terbukti dengan mendapat rangking.

Jadi apa mengejar rangking menjadi hal yang salah ? Menurut saya tidak sepenuhnya salah. Ada anak-anak yang memang memiliki kecerdasan kognitif. Anak seperti ini pasti akan terlihat cemerlang dalam pengetahuan. 

Tidak diminta untuk pintar, menjadi juara kelas atau juara umum pun dia dengan mudah mencapainya. Anak seperti ini tidak akan terbebani karena memang kapasitas kecerdasannya untuk itu. 

Untuk orang tua yang memiliki anak dengan kecerdasan kogntif seperti ini hal terbaiknya memberikan support dan fasilitas yang dibutuhkannya tentu sebatas kemampuan.

Sedang anak-anak yang memiliki kecerdasan lain, seperti si bungsu saya sangat senang menggambar. Sejak dia kecil --- masa saat dia masih suka pakai tiara di kepala karena merasa sebagai seorang putri --- dia sudah bilang ingin jadi arsitek.

Kecerdasan merancang sesuatu dari kecil sudah terlihat, kalau main game dia suka yang merancang bangunan, kalau punya kelomang ---binatang bercangkang yang dibelinya di depan sekolah --- dia akan buat rumahnya dari lego yang dia punya. 

Tugas membuat peta dari sekolah pun dia buat dengan baik dan dapat nilai tinggi. Hasil gambar petanya saya perlihatkan sebagai foto utama di artikel ini.

Saat dia tidak bisa mencapai nilai tinggi untuk hal yang tidak bisa dia capai tapi kemudian dipaksa untuk bisa, saya pikir seperti memaksa ikan untuk bisa naik pohon. Sesuatu yang sia-sia. Walau bukan berarti dia boleh melalaikannya, dia tetap harus berusaha sebaiknya sesuai kemampuannya.

Rangking bukan menjadi hal utama dalam pencapaian anak saat sekolah. 

Menjadikannya sopan, santun, beretika baik, mengerti menghadapi kesulitan hidup, tekun, gigih, tangguh dan terutama beriman dan bertaqwa lebih penting untuk dimiliki sebagai bekal untuknya dalam menjalani hidup nanti.

Mendapat rangking terbaik adalah bonus indah tapi memaksa anak untuk mendapat rangking bergengsi adalah hal kurang bijak karena tiap anak memiliki kecerdasan dan pribadi unik yang berbeda, dimana kecerdasan dan keunikan pribadi anak memiliki hak untuk diakui dan dihargai terutama oleh orang tuanya sendiri.

Karla Wulaniyati untuk Kompasiana
Karawang, Sabtu 15 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun