[caption caption="Prabowo Subianto memeluk Wilfrida Soik"][/caption]Oleh : Budi Purnono Karjodihardjo
BELAKANGAN ini pemberitaan media diwarnai dengan kabar soal Wilfrida Soik -- seorang pekerja rumah tangga asal NTT di Malaysia yang terancam hukuman mati. Wilfrida Soik, kini mendekam di Penjara Pangkalan Chepa, Kota Nharu, Kelantan. Ia telah menjalani beberapa kali persidangan di Mahkamah Tinggi Kota Bahru. Wilfrida ditangkap polisi Daerah Pasir Mas di sekitar kampung Chabang Empat, Tok Uban, Kelantan, karena dituduh membunuh majikannya.
Pemberitaan menjadi heboh setelah Ketua Dewan Pembina Prabowo Subianto mengunjungi wanita yang sejak belia sudah menjadi TKI tersebut, langsung dari penjara. Setelah Prabowo berhasil menemui Wilfrida, berita soal ini menjadi ramai, bukan karena kesibukan berbagai pihak untuk menyelamatkan TKI tersebut, tetapi justeru lantaran banyak komentar positif/negatif atas inisiatif upaya penyelamatan yang dilakukan oleh Calon Presiden Partai Gerindra tersebut.
Sepantasnya, apapun yang dilakukan oleh siapapun, sepanjang bertujuan menyelamatkan nyawa rakyat, tetap harus diapresiasi. Demikian juga upaya-upaya keprihatinan yang ditunjukkan oleh masyarakat yang digalang oleh Migran Care dengan membuat gerakan "Petisi untuk Wilfrida", patut didukung, Begitu juga komentar-komentar dari tokoh buruh, seperti anggota DPR-RI Rieke Diah Pitaloka, dan sejumlah tokoh lainnya.
Pernyataan keprihatinan, baik melalui pernyataan-pernyataan maupun dengan aksi-aksi diharapkan dapat membuat prakondisi yang baik bagi pemerintah Malaysia untuk mengambil keputusan yang menguntungkan bagi Wilfrida.
Sudah semestinya, pemerintah pun merespon positif harapan dan langkah-langkah masyarakat yang menginginkan Wilfrida tidak dihukum mati, bahkan dibebaskan dari hukuman di Malaysia. Sejauh ini, baru terdengar statemen pemerintah Indonesia, setelah kasus ini mengemuka di media. Misalnya, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Jumhur Hidayat menuding pemerintah negara jiran itu bersalah karena memberikan visa bekerja untuk gadis itu. "Kesalahan Malaysia ini bisa digunakan untuk melawan dan mempertahankan pembelaan Wilfrida," kata Jumhur, seperti dikutip media.
Dalam persoalan ini, mestinya pemerintah mengedepankan jalur diplomatik, berkomunikasi langsung dengan para pejabat Malaysia, sekaligus menyiapkan mengacara handal yang bisa membebaskan jerat hukuman terhadap Wilfrida Soik.
Itulah sebabnya, mengapa kita juga perlu mengapresiasi upaya-upaya yang dilakukan oleh Prabowo Subianto. Selain beliau bisa berdialog langsung selama kurang lebih dua jam dengan Wilfrida Soik di dalam penjara. Prabowo Subianto juga telah menyiapkan penasehat hukum yang sangat terkenal di Malaysia, yaitu Tan Sri Mohammad Safee Abdullah. Bukan itu saja, Prabowo dan pengacaranya juga berjanji akan Wlifrida dalam sidang tanggal 30 September 2013 ini.
Jelas, kita tidak perlu menghujat atau menuding negatif terhadap siapapun, apalagi bagi mereka yang sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa seorang warga negara Indonesia. Kalau bisa bersama-sama berjuang, tentu baik sekali. Tetapi kalau pun tidak, biarkanlah masing-masing berjuang semaksimal mungkin untuk memanfaatkan keahlian, jaringan, bahkan biayanya untuk menghadapi ancaman hukuman mati seorang rakyat kecil di negeri asing. Tidak perlu lagi mencari-cari siapa pembela yang sesungguhnya bagi Wilfrida Soik. (*)
Budi Purnomo Karjodihardjo adalah Koordinator Prabowo Media Center (2013-2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H