Kompetensi literasi dalam ranah pendidikan dasar merupakan suatu pondasi yang dinilai sangat krusial dan fundamental bagi perkembangan akademik maupun sosial siswa ketika berada di sekolah dan lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, berdasarkan hasil pengamatan dan apa yang saya saksikan di lapangan menjadi suatu kekhawatiran dan keprihatinan bahwasanya terdapat sebuah fenomena menurunnya kemampuan literasi siswa, khususnya di tingkat pendidikan dasar yaitu SD dan SMP yang saya kira banyak disebabkan oleh berbagai faktor. Fenomena yang banyak terjadi seperti ini bukan hanya menimbulkan keprihatinan bagi diri saya pribadi melainkan juga bagi para pendidik yang lain, seperti contoh misalnya tidak sedikit siswa yang masih mengalami kesulitan dalam membaca, beberapa siswa juga masih kesulitan dalam memahami konteks maupun isi bacaan juga berbagai situasi lainnya, dalam proses terjadinya penurunan kemampuan literasi siswa tentu bukan tanpa adanya sebab akibat, ada beberapa hal yang menurut saya menjadi titik latar belakang mengapa fenomena tersebut dapat terjadi, khususnya dalam optimalisasi konteks prinsip pelaksanaan implementasi kurikulum merdeka yang beberapa dekade ini kita anut dan laksanakan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh PISA (Programme for International Student Assessment), skor literasi siswa di Indonesia berada pada urutan ke-74 dari 79 negara yang diujikan, hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam memahami dan menggunakan informasi berbasis teks begitu rendah. Kemudian, sebuah survei nasional yang dilakukan oleh Kemendikbudristek pada tahun 2023 lalu juga menunjukkan bahwa 22% siswa kelas 4 -- 6 di Indonesia masih mengalami kesulitan dalam membaca paragraf sederhana dengan pemahaman yang baik. UNICEF Indonesia, pada tahun 2022 juga mencatat bahwa 15% siswa SD di kelas 4 -- 6 masih memiliki tingkat literasi di bawah standar yang diharapkan, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Kurikulum Merdeka yang dalam beberapa dekade terakhir ini menjadi tolak ukur dalam kita melaksanakan proses berlangsungnya pembelajaran di satuan pendidikan, sebenarnya sudah menitikberatkan pada pembelajaran yang merdeka dan berpusat pada siswa, kemudian konteks kurikulum ini juga berupaya dan mengarahkan kepada pengembangan kompetensi siswa secara menyeluruh termasuk kemampuan literasi di dalamnya. Namun bagi kami para pendidik di lapangan, tentu dalam mengimplementasikannya tidak mudah dan masih banyak mengalami tantangan. Saya melihat tidak semua guru telah dan bisa mendapatkan pelatihan yang cukup dalam penerapannya, khususnya dalam pembelajaran literasi yang seharusnya lebih eksploratif dan mendalam. Selain itu, dengan kurangnya referensi dalam metode pembelajaran tentu akan berpengaruh dan menjadi kurang sesuai dengan kebutuhan siswa yang masih dalam tahap belajar membaca menjadi sebab kontribusi pada penurunan literasi ini. Kemudian dalam analisis pandangan saya, terdapat faktor lain yang mempengaruhi penurunan kemampuan literasi siswa yakni tingkat keterlibatan orang tua dalam mendampingi siswa ketika mereka tidak berada di sekolah. Pada era yang serba digital seperti saat ini, sudah menjadi hal yang umum dan lumrah bahwasanya banyak orang tua yang mereka cenderung mengandalkan perangkat elektronik gadget sebagai sumber hiburan bagi anak-anak agar supaya mereka tenang, hal demikian ketika tidak didampingi dengan baik maka secara tidak sadar akan mengurangi waktu belajar dan membaca mereka. Dalam sebuah laporan yang dirilis oleh PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2018, sekitar 30% siswa di Indonesia memiliki kebiasaan membaca yang cukup rendah, dan salah satu faktor utamanya adalah kurangnya pembiasaan membaca ketika mereka di rumah.
Hal-hal yang begitu krusial seperti ini tentu tidak boleh kita biarkan begitu saja, perlu adanya suatu upaya revitalisasi agar kemampuan maupun kompetensi literasi siswa di sekolah dapat diperbaiki, hal itu dapat direkomendasikan dengan berbagai upaya yang dapat dilakukan di ranah satuan pendidikan seperti misalnya dalam pengutan kapasitas guru dalam pembelajaran literasi. Peningkatan kemampuan guru dalam menjadi fasilitator apalagi dalam mengajar literasi ini perlu menjadi prioritas yang utama. Program pelatihan literasi bagi guru di pendidikan dasar harus diperluas sehingga diseminasinya tersebar secara merata, guru-guru perlu dibekali dengan berbagai metode pembelajaran yang interaktif, seperti misalnya teknik membaca bersama (shared reading), kemudian membaca nyaring, membaca bergiliran (guided reading), pojok baca, dan program lainnya yang efektif untuk siswa di satuan pendidikan dasar. Dalam pemanfaatan teknologi sebagai alat literasi juga menurut saya perlu dilaksanakan secara optimal. Karena menggunakan teknologi dalam berliterasi apabila diarahkan dengan baik maka akan dapat membantu meningkatkan motivasi siswa untuk membaca. Sekolah dapat mengembangkan program perpustakaan digital yang mudah diakses oleh siswa yaitu pemanfaatan lab komputer misalnya atau pemanfaatan gawai yang mereka punya.
Kerjasama antara pendidik/guru dalam memahamkan pentingnya literasi kepada orang tua juga perlu dioptimalkan seperti misalnya dengan adanya paguyuban kelas. Bagi kami para pendidik, orang tua juga memiliki peran yang begitu besar dan penting dalam membiasakan anak untuk mempunyai kebiasaan membaca. Sekolah dapat mengadakan sebuah program literasi bersama keluarga atau dalam istilahnya "Reading for Fun at Home", yang mengajak orang tua dan juga siswa untuk membaca bersama selama kurang lebih 15 -- 30 menit setiap harinya. Program seperti ini ketika diterapkan dan dilaksanakan dengan baik, saya rasa akan memberikan keberhasilan dalam peningkatan kemampuan serta minat baca siswa. Selain itu, penyediaan fasilitas perpustakaan dan buku bacaan yang menarik juga perlu untuk merevitalisasi penurunan literasi ini. Sekolah bertanggung jawab untuk menyediakan buku-buku atau bahan bacaan berbagai teks multimodal yang menarik sesuai dengan usia dan daya tarik minat siswa. Pihak sekolah dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah maupun perpustakaan daerah dalam menyediakan fasilitas seperti ini apabila tidak tersedia di satuan pendidikan. Terakhir dalam upaya revitalisasi, kita perlu mengadakan suatu evaluasi yang dilakukan secara berkal terhadap kemampuan literasi siswa. Hal ini menurut saya sangat penting untuk dilakukan karena dapat mengetahui tingkat kemampuan siswa serta hal atau area mana yang perlu diperbaiki, evaluasi seperti ini dapat dilakukan setiap satu bulan sekali untuk memantau perkembangan literasi siswa.
Fenomena penurunan kemampuan atau kompetensi literasi siswa di ranah pendidikan dasar tentu sangat memerlukan perhatian yang serius dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, guru, hingga orang tua. Dengan memahami berbagai faktor penyebabnya dan berkolaborasi dalam upaya revitalisasi nya, maka diharapkan kemampuan literasi siswa dapat kembali meningkat dan memberikan impact atau dampak SDM yang baik dan unggul. Revitalisasi ini tidak hanya meningkatkan keterampilan membaca siswa tetapi juga membangun minat baca yang berkelanjutan sepanjang hidup mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H