SAMPAH: BUKTI KETIDAKPEDULIAN KITA TERHADAP BUMI?
Karisma Putri Ariani-STAI AL-ANWAR
Sampah merupakan kata sederhana yang mewakili permasalahan besar dan menjadi permasalahan global yang semakin membengkak. Sampah bagaikan monster yang terus bertumbuh, mencemari bumi, dan menggerogoti kelestariannya. Manusia setiap harinya akan menghasilkan sampah dalam jumlah yang tidak bisa dihitung sedikit.Â
Sampah berasal darimanapun, bisa dari sisa makanan, kemasan plastik, hingga barang elektronik usang, fenomena sampah sekarang menjadi pemandangan yang lumrah, tumpukannya yang menggunung di TPA (tempat pembuangan akhir), mencemari sungai dan lautan, bahkan menghiasi jalanan.
Semakin melonjaknya volume sampah menunjukkan pola konsumsi masyarakat yang tidak berkelanjutan. Kebiasaan membeli barang yang berlebihan, penggunaan barang sekali pakai, dan sembarangan membuang sampah mencerminkan bukti nyata sikap masa bodoh terhadap dampak besar sampah pada lingkungan.Â
Sampah plastik menjadi salah satu penyumbang terbesar pencemaran lingkungan serta menjadi simbol nyata ketidakpedulian kita terhadap bumi. Plastik yang sulit terurai akan mencemari tanah, air, udara, mengancam habitat biota laut, serta membahayakan Kesehatan manusia.
Kurangnya edukasi dan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sampah yang tepat pun akan memperburuk keadaan. Kebiasaan membakar sampah, membuang sampah ke sungai, dan minimnya pengetahuan tentang daur ulang memperlambat upaya untuk mengatasi permasalahan semacam ini.Â
Di sisi lain, lemahnya penegakan hukum dan kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai juga menjadi faktor yang memperburuk situasi. Minimnya sanksi bagi para pelanggar aturan dan gterbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas pengelolaan sampah yang berkelanjutan menjadi hambatan untuk mencapai solusi yang efektif.
Civil society merujuk pada jejaring organisasi dan individu yang beroperasi di luar ranah negara dan pasar. Organisasi non-profit (NGO), kelompok lingkungan, serta Gerakan akar rumput termasuk dalam ranah in. Mereka berperan penting dalam menjembatani kesenjangan antara kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat.Â
Dalam konteks sampah, civil society menjadi garda terdepan dalam mendorong perubahan. Mungkin sulit untuk mencapai kondisi tanpa sampah sama sekali, karena kebutuhan dasar manusia seperti makan dan sandang pasti menghasilkan sisa.Â
Namun, alih-alih pasrah, kita bisa berusaha keras untuk meminimalisir sampah yang dihasilkan. Melalui civil society, Mereka dapat mengedukasi masyarakat mengenai dampak sampah, mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan seperti reduce, reuse, recycle (3R), dan menginisiasi Gerakan-gerakan seperti zero waste (tanpa sampah).
Gerakan zero waste yang digagas civil society menjadi contoh nyata gebrakan ramah lingkungan. Gerakan ini mendorong perubahan gaya hidup, menghindari penggunaan barang sekali pakai, dan pengelolaan sampah organik melalui pengomposan. Konsep 3R dapat menjadi pegangan utama untuk permasalahan sampah.Â
Reduce berarti mengurangi konsumsi barang yang berpotensi menjadi sampah. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berbelanja secukupnya, menghindari penggunaan barang sekali pakai, dan memilih produk dengan kemasan minimal. Reuse bermakna menggunakan Kembali barang yang bisa dipakai.Â
Tas kain bisa menjadi alternatif tas plastik, wadah bekas bisa digunakan untuk menyimpan barang lain, dan pakaian lama bisa didonasikan atau didaur ulang menjadi barang baru. Recycle berarti mendaur ulang sampah menjadi barang baru. Botol plastik bekas bisa diubah menjadi pakaian polyester, kertas bekas menjadi produk kertas baru, dan sampah organik bisa menjadi kompos untuk menyuburkan tanaman.Â
Selain 3R, ada konsep lain yang bisa diterapkan, yaitu refuse (menolak) dan rot (mengomposkan). Refuse berarti menolak penggunaan barang yang tidak dibutuhkan, seperti menolak kantong plastik kresek yang ditawarkan di kasir. Sedangkan rot berarti mengolah sampah organik menjadi kompos yang bermanfaat untuk menyuburkan tanaman.
Selain mengubah kebiasaan individu, Gerakan civil society juga dapat mendorong perubahan sistemik. Civil society mendesak pemerintah untuk memperkuat peraturan pembatasan plastik.Â
Mendukung program daur ulang, dan meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas pengelolaan sampah yang memadai. Namun, perjalanan civil society tak lepas dari rintangan. Keterbatasan dana, minimnya akses media, dan pihak-pihak yang dirugikan oleh perubahan kebijakan menjadi hambatan yang harus dihadapi.
Dari sinilah kolaborasi menjadi kunci. Civil society perlu membangun hubungan dengan pemerintah, sektor swasta, dan akademisi. Kolaborasi ini memungkinkan untuk saling memperkuat dan memperluas jangkauan gerakan.Â
Pemerintah dapat mendukung civil society dengan menyediakan dana, mempermudah perizinan, dan melibatkan mereka dalam penyusunan kebijakan. Sektor swasta dapat berpartisipasi dengan mengembangkan produk ramah lingkungan, menerapkan sistem "refill" (isi ulang), dan mengurangi penggunaan kemasan sekali pakai.
Akademisi dapat berkontribusi melalui penelitian tentang inovasi pengelolaan sampah dan teknologi daur ulang yang lebih efisien. Dengan kolaborasi ini, civil society dapat menjadi kekuatan pendorong yang efektif. Mereka dapat menjadi sarana untuk perubahan perilaku individual maupun kebijakan publik.
Sampah bukan hanya bukti ketidakpedulian, tetapi juga cerminan kerumitan hubungan manusia dengan lingkungan. Civil society, dengan kolaborasi dan strategi yang tepat, dapat menjadi kekuatan pendorong untuk mengubah paradigma pengelolaan sampah dan membangun masa depan yang lebih lestari bagi bumi. Perjalanan ini tak akan mudah, namun dengan tekad dan semangat bersama kita dapat mentransformasi tumpukan sampah menjadi peluang untuk membangun masyarakat yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H