Pendidikan merupakan salah satu aspek yang menjadi standar suaatu negara dikatakan negara maju. Hal ini berkaitan dengan kualitas SDM pada suatu negara di masa yang akan datang. Adanya pendidikan juga tidak terlepas pada tenaga pendidik atau yang disebut juga sebagai guru. Peran guru dalam pendidikan tentunya sangat penting. Oleh karena itu, pendidikan yang baik ditentukan oleh guru yang berkualitas juga. Namun, kenyataannya kehidupan seorang guru terutama guru honorer sangat kompleks. Di mana terdapat permasalahan gaji guru honorer yang kurang dari standar. Hal ini menyangkut kesejahteraan yang tidak dapat dirasakan oleh mereka. Data dari Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa yag melakukan survei pada Mei 2024 mengatakan bahwa 74% Guru Honorer/Kontrak memiliki penghasilan di bawah Rp 2 Juta per bulan bahkan 20,5% diantaranya masih berpenghasilan dibawah Rp 500 Ribu. Rendahnya angka penghasilan guru honorer cukup memprihatinkan, mengingat bahwa upah minimum regional (UMR) di Indonesia berkisar Rp 2 juta. Namun hingga saat ini masih banyak guru honorer yang menerima penghasilan dibawah UMR Indonesia.
Dalam kurun waktu 7 tahun belakangan ini, gaji guru honorer tetap stagnan dan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Kondisi ini semakin buruk ketika terjadi Pandemi Covid 19 pada tahun 2020 yang mengakibatkan sekolah mengalami penurunan pendapatan. Hal ini berdampak pula pada gaji guru honorer, dimana terjadi penundaan pembayaran gaji karena keterbatasan dana. Pada tahun berikutnya, gaji guru honorer mulai mendapatkan perhatian dimana terdapat pembicaraan terkait peningkatan tunjangan guru honorer.
Disamping itu pemerintah memiliki suatu kebijakan mengenai gaji guru honorer yang diatur dalam beberapa peraturan, mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2005 hingga UU No. 5 Tahun 2014. Di mana PP No. 48 Tahun 2005 memberikan dasar hukum bagi pengakuan guru honorer, namun implementasinya sering kali mengalami kendala. Tujuan awal PP ini untuk memberikan kesempatan kepada tenaga honorer yang telah lama bekerja untuk diangkat menjadi CPNS. Ini berarti bahwa peraturan awalnya direncanakan untuk meningkatkan status hukum dan profesionalisme tenaga honorer. Namun, implementasi di lapangan ternyata tidak sepenuhnya efektif. Hal ini karena adanya hambatan oleh faktor-faktor internal seperti keterlibatan pemerintah daerah, keterbatasan dana, dan integrasi dengan peraturan-peraturan lain. Selanjutnya, UU No. 5 Tahun 2014 berusaha menghapus status tenaga honorer dan menggantinya dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang diharapkan dapat memberikan jaminan kesejahteraan lebih baik. Namun, kenyataannya banyak guru honorer yang masih sulit untuk diangkat menjadi PPPK karena keterbatasan kualifikasinya atau proses seleksi yang rumit.
Adapun pada tahun 2025, pemerintah mengumumkan rencana baru untuk meningkatkan tunjangan bagi guru honorer menjadi Rp2 juta per bulan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Meskipun ini merupakan langkah positif, banyak pihak mempertanyakan apakah jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan apakah kebijakan ini akan benar-benar diterapkan secara merata di seluruh daerah. Berdasarkan pengumuman Presiden Prabowo Subianto, yang menerima kenaikan tunjangan guru honorer hanyalah  mereka yang telah bersertifikasi Pendidikan Profesi Guru (PPG), sedangkan yang belum memiliki sertifikat pendidik maka tidak mendapat peningkatan tunjangan tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, pemerintah memiliki banyak kebijakan yang  menjamin kesejahteraan guru honorer agar mendapat peningkatan upah/gaji guru honorer. Namun, seringkali dalam implementasinya terjadi banyak kendala yang menjadi penghalang terlaksananya kebijakan tersebut. Hal ini harus diatasi guna meningkatkan kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan di Indonesia. Karena kesejahteraan guru mempengaruhi kualitas pendidikan. Guru yang merasa tidak dihargai, ia akan kurang termotivasi untuk menyampaikan pengajaran terbaiknya. Hal ini dapat mengganggu fokus mereka dalam mengajar dan mengurangi efektivitas metode pengajaran serta hasil belajar siswa.
Dengan demikian rendahnya gaji guru honorer di Indonesia merupakan isu yang kompleks dan berakar pada berbagai faktor, termasuk anggaran pendidikan yang terbatas, ketidakadilan dalam pengakuan kerja, proses pengangkatan yang rumit, dampak pandemi, dan kurangnya dukungan kebijakan yang tepat. Maka, permasalahan ini harus segera diatasi dan memerlukan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H