Mohon tunggu...
karin latifah
karin latifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication Student at IPB University

Halođź‘‹ saya seorang mahasiswa tingkat 3 Sekolah Vokasi IPB University dengan Program Studi Komunikasi Digital & Media yang senang menulis!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cancel Culture: Antara Keadilan Sosial dan Pembatasan Kebebasan Berpendapat

25 September 2024   14:25 Diperbarui: 25 September 2024   14:26 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Percy Hynes White, yang dikenal karena perannya sebagai Xavier Thorpe, tidak akan kembali untuk musim mendatang di tengah tuduhan pelecehan seksual yang masih berlangsung dan pertama kali muncul pada Januari 2023."

Kutipan dari salah satu media pemberitaan asal Inggris, Screenshoothq, merupakan salah satu imbas dari cancel culture. cancel culture sendiri mengacu pada tindakan kolektif di mana individu, kelompok, atau selebritas dikritik secara massal dan "dihapus" dari ruang publik sebagai konsekuensi atas perilaku atau pernyataan yang dianggap ofensif atau tidak sesuai dengan nilai-nilai moral atau sosial yang berlaku.

Dalam era digital yang serba terhubung, media sosial telah menjadi platform utama bagi setiap orang untuk berpendapat, saling terhubung, dan menyuarakan berbagai isu sosial. cancel culture adalah salah satu fenomena yang semakin menonjol dalam ruang digital. Hal ini sering dilihat sebagai alat bagi masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban dari mereka yang memiliki kekuasaan atau pengaruh. 

Dengan demikian, cancel culture berfungsi sebagai mekanisme pemberdayaan, di mana masyarakat dapat mengekspos ketidakadilan dan ketidakwajaran yang mungkin tidak mendapatkan perhatian dari institusi tradisional. Namun, seiring berkembangnya praktik ini, muncul juga kritik mengenai dampak negatif cancel culture, terutama dalam hal kebebasan berekspresi, dampak psikologis, dan potensi penghukuman tanpa proses yang adil.

Dengan keterbukaan kebebasan berpendapat di media sosial saat ini, bukan hanya selebritas atau influencer yang bisa terkena cancel culture. Siapa saja yang menjadi pengguna media sosial, jika mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang "bertentangan" dengan norma di masyarakat, juga dapat di-*cancel* beramai-ramai oleh sesama pengguna lainnya.

Lantas, apakah cancel culture membantu atau justru merugikan masyarakat? Di satu sisi, cancel culture memberikan suara kepada mereka yang terkucilkan dan memperbaiki ketidakadilan sosial. Namun, di sisi lain, banyak yang berpendapat bahwa cancel culture menciptakan atmosfer intoleransi, menghancurkan reputasi tanpa memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, dan merusak diskusi yang sehat.

Dalam beberapa dekade terakhir, cancel culture menjadi salah satu isu yang kontroversial karena dampak yang berlawanan yang dihasilkan oleh praktik ini. Di satu sisi, cancel culture dipandang sebagai alat yang efektif untuk meminta pertanggungjawaban orang-orang berpengaruh seperti selebritas, politikus, atau tokoh publik lainnya. Namun, di sisi lain, tindakan ini dianggap terlalu ekstrem karena bisa menghancurkan reputasi seseorang tanpa memberikan kesempatan bagi mereka untuk mempertahankan diri atau memperbaiki kesalahan mereka.

Salah satu posisi di mana cancel culture membantu atau dapat dikatakan berdampak positif ke masyarakat adalah ketika dalam kasus Percy Hynes White, aktor dari serial *Wednesday* Netflix, menjadi pusat perhatian setelah beberapa perempuan menuduhnya melakukan pelecehan seksual pada awal 2023. 

Tuduhan itu muncul melalui Twitter, di mana White dan teman-temannya diduga mengadakan pesta di Toronto yang melibatkan alkohol, narkoba, dan pelecehan terhadap wanita, termasuk yang di bawah umur. Akibatnya, tagar #CancelPercy sempat menjadi tren, dengan seruan agar ia dikeluarkan dari serial tersebut. White kemudian membantah tuduhan ini, menyebutnya sebagai informasi yang salah dan mengatakan bahwa keluarganya ikut menjadi sasaran pelecehan online.

Di sisi lain, cancel culture dapat menimbulkan kerugian bagi individu yang ditargetkan secara tidak adil. Sebagai contoh, kasus penulis dan profesor J.K. Rowling, yang menghadapi kecaman massal atas komentarnya terkait isu gender. Meskipun banyak yang mengkritik pandangannya sebagai tidak sensitif, beberapa orang menganggap bahwa seruan untuk "menghapus" Rowling dari budaya populer terlalu berlebihan dan tidak memberikan ruang untuk dialog yang sehat. Dalam kasus ini, cancel culture dapat menghambat kebebasan berpendapat dan menghasilkan polarisasi yang lebih dalam di masyarakat, di mana perdebatan terbuka tentang isu-isu sensitif menjadi semakin sulit.

Dampak dari cancel culture sangat beragam tergantung pada konteks kasusnya. Ketika cancel culture digunakan untuk menuntut keadilan, seperti dalam kasus Percy Hynes White, hal ini dapat memicu perubahan positif dalam masyarakat, mendorong pelaku kekerasan untuk bertanggung jawab, dan memberi kekuatan kepada korban. Namun, ketika digunakan secara berlebihan atau tanpa dasar yang kuat, seperti dalam kasus J.K. Rowling, cancel culture dapat menimbulkan dampak negatif seperti kerusakan reputasi yang tidak dapat diperbaiki, polarisasi masyarakat, dan pengerdilan ruang untuk perdebatan yang sehat. Pada akhirnya, efek dari cancel culture terhadap masyarakat adalah sebuah refleksi dari bagaimana fenomena ini diterapkan dan diterima oleh publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun