Mu'tazilah adalah aliran teologi dalam Islam yang muncul pada abad ke-8 di Basra, Irak. Aliran ini dimulai ketika Wasil bin Atha memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri, karena perbedaan pandangan tentang status seorang Muslim yang melakukan dosa besar. Dikenal sebagai aliran yang mengutamakan rasionalitas, Mu'tazilah menekankan pentingnya akal dalam memahami ajaran agama dan menjawab berbagai masalah teologis.
Mu'tazilah merumuskan lima prinsip utama yang dikenal dengan al-usul al-khamsah. Prinsip pertama adalah tauhid (keesaan Tuhan), yang mengajarkan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat yang menyerupai makhluk-Nya. Prinsip kedua adalah al-'adl (keadilan Tuhan), yang menegaskan bahwa Tuhan Maha Adil dan memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih serta bertanggung jawab atas perbuatannya. Pandangan ini berbeda dengan Jabariyah, yang berpendapat bahwa semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Allah.
Prinsip ketiga adalah al-wa'd wa al-wa'id (janji dan ancaman), yang mengajarkan bahwa Allah akan memberi pahala kepada orang yang taat dan hukuman kepada yang melanggar, kecuali jika mereka bertaubat. Prinsip keempat adalah al-manzilah bayna al-manzilatayn, yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang melakukan dosa besar tidak bisa dianggap sepenuhnya mukmin, tetapi juga tidak kafir. Mereka berada di antara dua posisi tersebut. Terakhir, amr bil ma'ruf wa nahi 'anil munkar adalah kewajiban setiap Muslim untuk menegakkan yang baik dan mencegah yang buruk dalam kehidupan sosial.
Selain itu, Mu'tazilah juga dipengaruhi oleh filsafat Yunani, khususnya Neoplatonisme. Mereka menggabungkan rasionalitas dengan wahyu untuk menjelaskan konsep-konsep teologis seperti kehendak bebas manusia dan keesaan Tuhan.
Pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah, Mu'tazilah mencapai puncak kejayaannya, ketika ajaran mereka menjadi doktrin resmi negara. Namun, setelah Khalifah al-Mutawakkil mendukung aliran Sunni tradisionalis, pengaruh Mu'tazilah mulai memudar. Meskipun demikian, pendekatan rasional mereka tetap berpengaruh pada tokoh-tokoh besar seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Bahkan hingga sekarang, nilai-nilai Mu'tazilah tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman modern.
Mu'tazilah mengajarkan pentingnya rasionalitas, keadilan, dan tanggung jawab manusia dalam memahami agama. Meskipun pengaruh politik mereka memudar, gagasan mereka tetap menjadi sumber inspirasi dalam diskusi teologi dan filsafat Islam hingga kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H