Mohon tunggu...
Karina Ayu Triutami
Karina Ayu Triutami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Program Studi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Angkatan 2020

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relevankah Usulan Poligami dalam Menekan Angka Penularan HIV/AIDS?

12 Oktober 2022   21:45 Diperbarui: 12 Oktober 2022   22:03 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Kementerian Kesehatan merilis data tentang intensitas dan signifikansi penduduk Indonesia, khususnya Provinsi Jawa Barat yang diperkirakan memiliki jumlah kasus infeksi HIV/AIDS terbanyak pada rentang usia produktif atau mayoritas adalah pelajar. Mengutip Kompasiana.com dalam (siha.kemkes.go.id), jumlah akumulatif dari 1987 hingga 31 Desember 2021 adalah 135.490 terinfeksi 0,9% risiko berasal dari perilaku biseksual, atau 0,9%. 

Menurut data terakhir untuk periode yang berakhir pada Juni 2022, Provinsi Jawa Barat kini menempati urutan ketiga tertinggi kasus HIV/AIDS dengan jumlah 57.426 kasus, setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Kota Bandung mencatat, sebanyak 5.943 orang warga Kota Bandung mengidap Penyakit HIV/AIDS yang diambil berdasarkan data akumulatif sejak tahun 1991 hingga tahun 2021 dari Kementerian Kesehatan dan 28 puskesmas serta layanan kesehatan di Kota Bandung. 

Dari seluruh jumlah yang ada, pegawai swasta menjadi pasien terbanyak dengan jumlah 1.842 kasus, disusul dengan ibu rumah tangga dengan jumlah 653 kasus, dan yang ketiga ditempati oleh kalangan mahasiswa dengan jumlah lebih dari 400 kasus. Faktor utama penyebab penularan ialah perilaku heteroseksual atau perilaku seksual berisiko, seperti sering berganti-ganti pasangan.

Di tengah fakta ini, kemudian terdapat realita faktual yang cukup kontroversial, yakni pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, yang menyampaikan gagasan pernikahan dan poligami sebagai alternatif solutif untuk menangani penyebaran HIV/AIDS. Gagasan tersebut dibawa dengan dasar bahwa melalui pernikahan dan poligami, seseorang mampu menghindari aktivitas hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang mendatangkan banyak kerugian, termasuk penyebab maraknya HIV/AIDS. 

Lebih lanjut, Uu juga menganjurkan para orang tua untuk mengizinkan pernikahan kalangan muda demi menghindari adanya aktivitas seksual di luar ikatan pernikahan. Ia kemudian menguatkan pernyataannya dengan membawa dalih agama yang memperbolehkan adanya poligami dan pernikahan sebagai upaya menghindari zina. Solusi yang ditawarkan oleh Uu ini tentu kemudian menjadi suatu pernyataan blunder yang keluar dari sosok seorang pemimpin.

Mengacu pada temuan-temuan yang ada, tentu risiko tertular HIV/AIDS merupakan fenomena empiris yang tentu sangat memerlukan upaya besar sebagai langkah preventif kenaikan intensitas jumlah pengidap, terlepas dari apapun latar yang membelakanginya. 

Namun, tidak dipungkiri bahwa masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk melihat masalah HIV/AIDS secara normatif daripada mempertimbangkan aspek medis empiris, harus bekerja sama untuk membantu menciptakan stigma positif agar tindakan pencegahan dapat dilakukan dan diupayakan untuk berfungsi sepenuhnya. Maka, urgensinya adalah sosialisasi pendidikan seksual dan HIV/AIDS perlu untuk semakin ditingkatkan.

Mempromosikan poligami dan pernikahan di usia muda tentu bukanlah solusi terbaik di tengah gejolak tingginya angka HIV/AIDS. Solusi tersebut justru hanya akan mendatangkan berbagai permasalahan lainnya, seperti kemungkinan akan meningkatnya angka pengaduan tindakan KDRT dan perceraian akibat ketidaksiapan dalam membina rumah tangga, baik secara mental maupun moral. 

Tak hanya itu, solusi tersebut juga akan semakin memperjelas nilai budaya patriarki yang hingga kini masih melekat di masyarakat karena pada pelaksanaannya poligami seringkali menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan. 

Padahal, sebagian besar Ibu Rumah Tangga yang terpapar HIV/AIDS tertular oleh suaminya yang tanpa sepengetahuan mereka sering memakai jasa Pekerja Seks Komersial (PSK). 

Suatu hal yang amat disayangkan, seorang pemimpin yang seharusnya berkapasitas lebih untuk menangani keresahan ini justru menghadirkan solusi yang berada di luar keharusan. Sebagai seorang pemimpin, Uu memiliki wewenang lebih untuk membahas penyebaran HIV/AIDS melalui perspektif kesehatan yang memang merupakan domainnya dengan program-program kesehatan dan edukasi yang seharusnya digaungkan oleh pemerintah.

Menekan angka penyebaran HIV/AIDS, maka menjadi penting untuk memberantas akarnya. Akar tersebut ialah tentang bagaimana HIV/AIDS ini menyebar. Faktor penyebaran HIV/AIDS yang paling banyak menyumbangan angka penularan ialah melalui seks bebas atau seks yang tidak aman. Maka, jika ingin menekan angka penyebaran, poligami adalah solusi yang tak solutif karena secara medis tak ada korelasi antara poligami dengan penyebaran HIV/AIDS. 

Poligami justru dapat menjadi bumerang ketika salah satu pasangan tak setia dan melakukan perilaku seksual berisiko tanpa diketahui oleh pasangannya dan kemudian berkemungkinan menular kepada yang lainnya. Terlebih, fakta bahwa HIV/AIDS tidak hanya disebabkan oleh perilaku seks bebas, melainkan juga mengonsumsi narkotika dengan mengggunakan jarum suntik yang dipakai secara bergantian, transfusi darah, hingga infeksi yang ditularkan oleh ibu ke anak semakin menunjukkan bahwa usulan Wagub Jabar tersebut merupakan solusi yang tak relevan. 

Daripada itu, rasa-rasanya menjadi penting untuk memprioritaskan pendidikan seksual yang lebih mumpuni, tak hanya kepada anak-anak dan remaja, tetapi juga pada pasangan menikah agar ke depannya masyarakat lebih sadar akan pentingnya melakukan hubungan seks yang aman. Tak hanya pendidikan seksual, penting juga untuk kemudian lebih berfokus pada pemberian sosialisasi dan edukasi terkait dengan bahaya serta medium penularan HIV/AIDS lainnya dan pendampingan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Fenomena tingginya angka pengidap HIV/AIDS di Kota Bandung tentu perlu menjadi perhatian bagi banyak kalangan. Dari banyaknya kasus yang diketahui, sekitar 31,01% berasal dari kalangan pegawai swasta; 11,8% berasal dari kalangan ibu rumah tangga; dan sekitar 6,97% berasal dari kalangan mahasiswa dengan faktor utama penyebab penularan ialah perilaku heteroseksual atau perilaku seksual berisiko, seperti sering berganti-ganti pasangan. Berbagai tanggapan dan pengadaan upaya preventif  muncul di tengah fenomena ini, yang salah satunya berasal dari sosok Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum. Ia menyampaikan bahwa solusi untuk menekan penyebaran HIV/AIDS ialah dengan menikah dan berpoligami. 

Tentu, pernyataan ini bukanlah solusi terbaik yang dapat ditawarkan di tengah gejolak tingginya angka HIV/AIDS. Solusi tersebut justru hanya akan mendatangkan berbagai permasalahan lainnya. Dengan demikian, usulan Wagub Jabar ini dapat dikatakan sebagai usulan yang tak relevan dan bahkan cenderung blunder dalam  menekan angka penularan HIV/AIDS.

Editor: Dr. Yusa Djuyandi, S.IP., M.SI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun