Mohon tunggu...
Karina Ayu Triutami
Karina Ayu Triutami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Program Studi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Angkatan 2020

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menilik Persoalan Ambang Batas Pemilu

9 Januari 2022   16:23 Diperbarui: 9 Januari 2022   16:32 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan Umum atau Pemilu adalah salah satu aspek utama dari demokrasi. Maka, tak heran jika dewasa ini pemilu telah bertransformasi menjadi hal yang mutlak bagi suatu negara yang demokratis. 

Pemilu pada dasarnya merupakan sarana bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatan dengan memilih individu-individu tertentu yang akan mewakilinya di pemerintahan dengan menjunjung tinggi asas LUBER JURDIL. 

Secara singkat, tujuan pemilu adalah untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif serta membentuk pemerintahan yang demokratis dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sesuai UUD 1945. Merujuk Adam Przeworski (1988), setidaknya terdapat dua alasan mengapa pemilu menjadi variabel yang krusial dalam suatu negara demokrasi. 

Pertama, pemilu merupakan suatu mekanisme transfer kekuasaan politik secara damai. Kedua, demokrasi yang memberikan ruang kebebasan bagi individu, meniscayakan terjadinya konflik-konflik.

Mari berfokus pada salah satu regulasi pemilu yang menjadi kontroversial. Mengapa kontroversial? Sebuah kontestasi yang harusnya dilaksanakan secara sehat, dinamis, partispatif, dan penuh tanggung jawab, justru menjadi perlu dikaji kembali regulasinya. 

Terdapatnya keegoisan berbagai partai politik yang mematok ambang batas atau yang dikenal juga dengan istilah Presidential Threshold sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008 dan Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur bahwa pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. 

Hal ini tentu menjadi keresahan tersendiri yang harus disudahi karena berpontensi mengamputasi salah satu fungsi partai politik dalam menjaring dan menyediakan para calon pemimpin, yang kemudian berdampak pada pembatasan hak konstitusional warga negara dalam mendapatkan serta memilih calon pemimpin yang lebih beragam. 

Masyarakat tentunya harus memiliki hak dan kebebasan yang terjamin guna memilih para calon pemimpin yang sesuai dengan idealisme mereka. Dengan adanya pembatasan ini dapat mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan golput akibat merasa kurang puas dengan nama-nama calon yang ada.

Ambang batas yang begitu besar juga tampaknya kurang ideal dan kurang sesuai dengan konsep pemilu serentak karena potensi munculnya calon tunggal serta mempertemukan hanya dua kekuatan politik yang dapat menimbulkan gesekan besar. Kursi legislatif dan eksekutif pun pada akhirnya berpotensi untuk dikuasai oleh satu partai saja yang tentu akan bertentangan dengan sistem kepartaian Indonesia yang merupakan sistem multipartai. 

Meski, jika hanya ada partai tunggal dirasa akan lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaan fungsi kelembagaan, tetapi di sisi lain hal ini akan berpontensi terjadinya pembuatan kebijakan yang tidak pro rakyat dan tak dapat menjadi sandaran rakyat mengingat tak adanya pihak oposisi dalam lembaga legislatif maupun eksekutif. 

Secara yuridis, pemberlakuan ambang batas ini tidak selaras dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Penafsiran pasal ini menyiratkan bahwa setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tanpa pengecualian, terlebih lagi batasan terhadap partai politik peserta pemilu dalam mencalonkan pasangan presiden dan wakilnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun