Mohon tunggu...
Karina Alya Rohmadi
Karina Alya Rohmadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa PPG Prajabatan

Mahasiswa ppg prajabatan, struggling agak banyak tapi tetap trobos

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perjalanan Indonesia Menuju Merdeka Belajar

10 Februari 2024   02:15 Diperbarui: 10 Februari 2024   02:17 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi seorang guru tidak hanya sebuah pilihan karir, tetapi juga merupakan sebuah panggilan untuk berbagi pengetahuan, membentuk karakter, dan memberikan inspirasi kepada generasi mendatang. Selain itu, guru bukanlah karir yang bisa dipisahkan dari kehidupan pribadi sang pengajar. Ketika seseorang menjadi guru, maka dia akan selalu menjadi panutan dan teladan bagi siswanya. Sehingga, sudah sepatutnya seorang guru senantiasa berperilaku baik dan bersemangat untuk terus-menerus berkembang dan memperbaiki diri.

Sebagai seorang guru, banyak kompetensi dan keterampilan yang diperlukan guna memenuhi tugas mengajar dan mendidik siswa. Terlebih dengan berbagai macam tantangan yang muncul di tengah-tengah perkembangan teknologi dan kondisi negara yang masih dalam masa pemulihan setelah pandemi. Salah satu strategi yang bisa diterapkan untuk mengembangkan diri adalah dengan menjalani Pendidikan Profesi Guru. Selama proses pendidikan, calon guru mendapatkan kesempatan untuk introspeksi serta menjadi mawas diri dalam mengenali peran dan identitasnya sebagai seorang pendidik dan pengajar. Dengan memanfaatkan modul, tugas-tugas, dan ikut serta dalam kegiatan selama PPG, baik perkuliahan, PPL, maupun kegiatan-kegiatan pendukung lainnya, calon guru mampu membentuk dan memperkokoh identitasnya sebagai seorang guru.

Pendidikan di sekolah merupakan salah satu sarana untuk mengembangkan seorang siswa untuk menjadi individu yang memiliki keterampilan dan intelegensi, mandiri, bertanggung jawab, serta berkarakter. Untuk menciptakan pembelajaran serta pendidikan yang sedemikian rupa, salah satu aspek pentingnya adalah guru yang berpihak kepada peserta didik. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara, “pendidikan itu menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak”. Setiap anak terlahir dengan karakternya masing-masing. Mereka lahir dengan kelebihan, kondisi, dan potensinya masing-masing dan bertumbuh di tengah keluarga dan lingkungan yang bermacam-macam juga. Oleh karena itu seorang guru tidak bisa menyamaratakan murid-muridnya dan sudah sepatutnya sebagai guru memfasilitasi pendidikan yang dapat sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya, sesuai dengan gagasan pendidikan Ki Hadjar Dewantara.

Perkembangan Pendidikan Indonesia pada Masa Kolonialisme Belanda

Pendidikan di Indonesia telah dimulai dari masa kolonial. Namun sistem pendidikan yang di tetapkan oleh pemerintah Belanda sejatinya membelenggu para siswa-siswanya. Pendidikan saat itu aksesnya sangat terbatas, dan sangat diskriminatif. Layanan pendidikan di sekolah dibeda-bedakan antara anak-anak Belanda, anak-anak timur asing dan anak pribumi. Selain itu pendidikan di masa kolonial menitikberatkan pada intelektualistik, individualistik, dan materialistik, tanpa mencerminkan cita-cita kebudayaan. Pendidikan yang seperti ini memisahkan individu dengan alam, lingkungan, dan masyarakatnya. Selain itu, pendidikan yang ada pada zaman kolonial tidak bertujuan untuk mensejahterakan rakyat pribumi namun bertujuan untuk membantu Belanda dalam usaha-usaha perusahaannya.

Pada tahun 1854, beberapa bupati mendirikan sekolah kabupaten yang bertujuan untuk mendidik calon-calon pegawainya. Kemudian, pada tahun 1864 didirikan juga Sekolah Bumiputera. Di sekolah ini masyarakat pribumi medapat kesempatan untuk belajar namun pembelajaran yang diajarkan sangatlah terbatas, yaitu membaca, menulis, dan berhitung seperlunya saja. Karena seperti yang disebutkan sebelumnya upaya pendidikan oleh Kolonial Belanda adalah usaha mereka untuk memperlancar segala kepentingan usaha Belanda selama di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1920, muncul cita-cita baru yang diawali oleh Boedi Utomo, R.A. Kartini, dan Dokter Wahidin Sudirohusono. Hal ini didasari oleh adanya kesadaran kultural dan kebangkitan politik. Pada tahun 1922, tujuan utama dari pendidikan berkembang menjadi kemerdekaan nusa dan bangsa sebagai jaminan untuk kemerdekaan dan kebebasan kebudayaan bangsa. Di tahun yang sama, Ki Hadjar Dewantara akhirnya mendirikan Lembaga Pendidikan Taman Siswa di Yogyakarta. Filosofu pendidikan Taman Siswa yang masih digunakan hingga saat ini adalah ing ngarsa sing tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani, yang berarti di depan memberi contoh, di tengah membangun cita-cita, di belakang mengikuti dan mendukungnya.

Perkembangan Pendidikan Indonesia Pasca Kemerdekaan

Pada masa kemerdekaan, kurikulum yang diterapkan mengalami perubahan dari pendidikan yang mengacu pada sistem pendidikan Belanda menjadi pendidikan untuk kepentingan nasional. Kurikulum yang digunakan pada tahun 1947 disebut dengan istilah leer plan yang merupakan istilah bahasa Belanda yang artinya rencana pelajaran. Pada tahun 1947 hingga tahun 1952, pendidikan di Indonesia tidak hanya berkembang dengan mementingkan aspek kognitif tetapi juga mengangkat tata nilai sosial dan memperkuat indentitas bangsa dengan corak tradisi, agama, budaya, dan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Hal ini dilakukan sebagai upaya menghapuskan jejak-jejak kolonialisme Belanda serta memperkokoh rasa nasionalisme. Kemudian, pada tahun 1964, kurikulum Indonesia mengalami penyempurnaan kembali. Rentjana Pendidikan 1964 mencetuskan konsep pembelajaran aktif dan mendorong siswanya untuk mampun menemukan solusi terhadap pemecahan masalah (problem solving) yang ada dan berkembang di masyarakat.

Semasa Pemerintahan Order Baru, kurikulum pendidikan di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan dan perkembangan. Perkembangan tersebut dimulai dari munculnya kurikulum 1968 untuk menggantikan kurikulum 1964. Kurikulum 1968 identik dengan mata pelajaran yang berfokus pada mata pelajaran teoritis dan tidak berkaitan dengan keadaan yang ada di lingkungan kehidupan bermasyarakat. Kemudian pada tahun 1975 kurikulum yang digunakan bersifat sentralistik dan menerapkan teori belajar behavioristik dimana perubahan tingkah laku adalah tujuan utama dari suatu pembelajaran. Kurikulum ini kemudian disempurnakan kembali pada kurikulum 1984 dengan menggunakan pendekatan proses. Pada kurikulum 1994, kedua kurikulum sebelumnya, kurikulum 1975 dan 1984, dipadukan menjadi satu. Namun pada akhirnya kurikulum 1994 menjadi kurikulum yang super padat karena muatan nasional dan muatan lokal sangat banyak porsinya. Selain itu, kurikulum ini banyak dikeritik oleh prinsip link and match dimana sekolah dituntut untuk menyiapkan tenaga-tenaga kerja yang terampil yang dibutuhkan oleh industri dan tidak memanusiakan manusia.

Pendidikan di Indonesia terus berkembang pada masa reformasi. Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menggunakan strategi pendekatan melalui penguasaan berbagai kompetensi. Dengan menerapkan metode pembelajaran dan sumber belajar yang bervariasi, siswa dibimbing untuk kompeten dalam suatu keterampilan. Pada tahun 2006, kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) mulai diberlakukan. Kurikulum ini bersifat desentralisasi dan guru diberi kewenangan untuk melakukan perubahan, revisi, dan penambahan dari standar yang telah dibuat pemerintah. Seiring dengan perkembangan teknologi, kurikulum KTSP kembali disempurnakan menjadi Kurikulum 2013. Pengembangan Kurikulum 2013 menekankan pada pengembangan kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan karakter peserta didik secara holistik. Pada 2022, Kurikulum Merdeka disahkan untuk menggantikan Kurikulum 2013. Kurikulum Merdeka bertujuan untuk mengejar ketertinggalan selama pandemi COVID-19 serta meningkatkan potensi dan kemampuan peserta didik melalui proses pembelajaran yang relevan dan interaktif. Pada kurikulum ini guru dapat mengatur pembelajaran berdasarkan jenjang serta perkembangan peserta didiknya masing-masing.

Dalam pidatonya di Universitas Gajah Mada pada tahun 1956, Ki Hadjar Dewantara menghimbau untuk mendidik anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendir. Hal tersebut kembali mengingatkan kita bahwa manusia lahir dengan potensinya masing-masing. Kemudian melalui pendidikan itulah, individu tersebut dibina dan dididik agar berkembang potensinya. Namun pada praktinya saat ini proses pembelajaran yang membatasi dan membelenggu siswa masih dipraktikan hingga saat ini. Pendidikan yang masih membelenggu terjadi karena peserta didik masih dianggap sebagai objek ketidaktahuan atas ilmu pengetahuan (Atamaranti, 2023). Dengan pendekatan yang seperti itu anak berperan pasif dalam pembelajaran sehingga mereka tidak mampu berkembang secara maksimal. Pendidikan yang menitik beratkan pada pencapaian intelektual akademik juga bentuk belenggu dalam pendidikan. Secara tidak langsung hal ini menunjukan bahwa bahkan setelah kemerdekaan, jejak kolonialisme Belanda masih tertinggal di sistem pendidikan kita.

Pendidikan seharusnya memberikan kebebasan kepada individu untuk berkembang menurut kekuatan kodrat yang ada pada anak, bukan mendikte anak dan mengubah potensi yang sudah lahir bersamanya. Dalam pembelajaran merdeka, anak menjadi subjek belajar dan tidak hanya berperan pasif dalam proses pembelajaran. Anak dibimbing untuk mencari, menemukan, dan memecahkan masalah sehingga dapat menambah pengetahuan, pengalaman, atau mengubah sikap dan perilaku (Batsari, 2021).

Beberapa pendekatan yang bersifat student­­-centered yaitu pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), dan pembelajaran kontekstual. Pada project-based learning, dengan bimbingan guru, peserta didik diberi kebebasan untuk merencanakan dan merancang projek yang sesuai dengan minat dan kemampuan mereka. Kemudian, problem-based learning mendorong peserta didik untuk melakukan problem-solving dan analisis terhadap masalah yang dihadapkan pada mereka. Sedangkan pada pembelajaran kontekstual, peserta didik diarahkan untuk menghubungkan pembelajaran dengan pengalaman dan situasi nyata yang terjadi di lingkungannya.

Perjalanan pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak perkembangan dari perjuangan menegakan pendidikan di era kolonialisme hingga di era baru dimana kita hidup berdampingan dengan perkembangan teknologi yang pesat. Sesuai amanat Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan semestinya mengikuti kodrat alam dan zamannya. Melalui pedidikan, guru membimbing siswanya menjadi individu yang memiliki keterampilan dan intelegensi, mandiri, bertanggung jawab, serta berkarakter. Untuk mewujudkan hal tersebut, kita perlu melepaskan belenggu pendidikan yang membatasi para siswa untuk dapat seutuhnya mengembangkan potensinya. Guru harus mendorong dan memfasilitasi anak didiknya agar dapat berperan sebagai subjek aktif dalam pembelajaran. Dengan mendukung peran aktif siswa dalam pembelajaran, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan progresif, sesuai dengan merdeka belajar oleh Ki Hadjar Dewantara.

Daftar Rujukan:

Atmaranti, R. (2023). Pembebasan Pendidikan yang Membelenggu pada Pendidikan Abad 21. PROSIDING NATIONAL CONFERENCE FOR UMMAH, 2(1), 212–216. Retrieved from https://conferences.unusa.ac.id/index.php/NCU2020/article/view/1153

Bastari, K. (2021). Belajar Mandiri dan Merdeka Belajar Bagi Peserta Didik, Antara Tuntutan dan Tantangan. Academia: Jurnal Inovasi Riset Akademik, 1(1), 68-77. https://doi.org/10.51878/academia.v1i1.430

Insani, F. D. (2019). Sejarah Perkembangan kurikulum di Indonesia sejak awal Kemerdekaan Hingga Saat Ini. As-Salam: Jurnal Studi Hukum Islam Dan Pendidikan, 8(1), 43–64. https://doi.org/10.51226/assalam.v8i1.132

Ki Hadjar Dewantara. (1956). Pidato Sambutan di Dewan Senat Universitas Gadjah Mada. 7 November. Yogyakarta.

Supriatna, M. N., Diyanti, I. E., & Dewi, R. S. (2023). Analisis Perbandingan Kurikulum KTSP, K13 dan Kurikulum Merdeka di Sekolah Dasar. Journal on Education, 6(1), 9163–9172.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun