Mohon tunggu...
Karima Suci
Karima Suci Mohon Tunggu... Freelancer - Naruchi

Bulan yang seperti matahari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mungkin Tidak Hari Ini

4 Desember 2019   21:26 Diperbarui: 4 Desember 2019   21:28 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik jendela kedai kopi, rembulan pasrah pada pelukan awan kelabu, disembunyikan wajah ayu sebab ia tahu bahwa bumi rindu rinai hujan. Lagi-lagi malamku bertamukan air langit, bagiku hujan malam hari selalu istimewa, padanya ku tunjukkan sisi terlemah seorang bujang minang, dihadapannya duka abadi semakin kental. 

Berbicara mengenai hujan, benakku meneriakkan satu nama, Datuk Basa, adik nenek sekaligus guru ngaji di Surau Hitam. Kepada Arul  usia tujuh tahun, beliau berpesan " Belajarlah pada keluarbiasaan hujan, dengan ikhlas jatuh dari ketinggian dan dilahap bagian terdalam bumi, tetapi ia tetap bangkit dan kembali ke langit, walau ia tahu akan jatuh lagi." 

Begitulah datuk, berpedoman pada pepatah Alam Takambang jadi Guru, baginya alam adalah guru besar. Pernah, saat Arul remaja enggan kuliah di pulau Jawa, datuk berucap " Bujang, lihatlah pohon kelapa itu! Gagah dan tinggi menjulang. Buah, batok, sabut, kayu, sampai akarnya memberikan manfaat. Waang tau kenapa? Karena ia tidak pemilih, di manapun ia diletakkan, ia pasti hidup, itulah mengapa kelapa menjadi tumbuhan yang bermanfaat, sebab kelapa selalu tabah, ikhlas dan berkerelaan dan waang harus begitu, untuk menjadi orang yang bermanfaat, tumbuhlah di manapun, bagaimanapun lingkungannya, besarlah di sana, membumi, menjadi bujang minang kebanggaanku."

 Batinku memberontak, mengapa ingatan akan ranah minang masih meremukkan jantung? Tidak cukupkah lima tahun yang penuh sesak mengobati patah hati seorang bujang taat, Ararul Chaniago? Aahh, perlahan aku menutup bola mata, merelakan angin malam menerbangkan gusar jiwa, mengikhlaskan hujan malam hari menikmati ketidakberdayaan seorang pria berumur tiga puluhan. 

menatap sekeliling, bersamanya aku berbagi cerita masa, baik masa kanak-kanak, masa remaja, sampai masa penuh perjuangan dahulu. Ya, aku kebingungan menanggung luka sendirian. 

Pada siapa akan dibagi? Harus dibawa ke mana penderitaan ini? Terkadang aku ingin mengulang kisah kecilku, menjadi Arul tanpa beban, kembali menjadi si patuh Arul.

Perlahan, aku meneguk kopi hitam tanpa gula kesukaanku, ingatan akan ranah minang kembali berputar. Di ranah minang ada istilah Babaliak Ka Surau atau Kembali ke surau. Mulai dari anak-anak kecil sampai remaja diantarkan oleh orang tua mereka ke surau, tidakk lupa dititipkan sebuah rotan  untuk memukul si anak bila berbuat nakal atau tidak patuh pada guru. Bagi masyarakat minang pendidikan sangat penting dan sacral. Guru adalah orang yang diberi kepercayaan untuk membentuk karakter anak. Menyediakan rotan berarti menitipkan kasih sayang dan kerelaan orang tua, agar anak-anaknya dapat menebar manfaat. Di surau diajarkan membaca Al-Quran, menghafal ayat pendek dan do'a-do'a, serta diberi nasihat tentang kehidupan. Setelah Shalat Isya, murid perempuan dipersilahkan pulang ke rumah sementara murid laki-laki tetap di surau untuk belajar bela diri silat. Khusus malam Minggu, murid laki-laki akan tidur di surau, setelah subuh barulah kembali ke rumah, membantu amak dan apak di ladang atau sekedar bermain layangan di pematang sawah. 

            Sejujurnya, aku ingin kembali ke rumah, menemui buah hati yang sedang menunggu, namun aku tidak sanggup melihat wajah mungilnya, manusia itu sudah ku seret dalam hidup yang penuh kutukan. Beberpa detik kemudian, seorang pria berperawakan tegap duduk di depanku. "Assalamualaikum! Kenapa murung begitu? Sudah seperti benang kusut wajahmu!" ledek Rudi, pria yang langsung menepuk pundakku, seolah ingin menguatkan si pecundang. Aku hanya mengangguk sambil beriya kecil, bahkan suara tetes hujan yang mulai reda lebih keras dari pada suaraku. Kecanggungan mulai menguasai pembicaraan anatar teman lama yang sudah lima tahun tidak pernah bertemu. Dari mata Rudi, pasti ada yang hendak ia bicarakan, hanya saja dia masih sama seperti dulu, ragu-ragu. Ya, Rudi sering dilanda keraguan yang besar, bahkan saat acara khitanan, dia sangat ragu untuk menceburkan diri ke sungai. Di Minang, setiap anak yang akan dikhitan akan diarak keliling kampung lalu diantarkan mandi ke sungai seharian. Hal tersebut bermaksud agar tubuh si anak kedinginan dan tidak sakit ketika dikhitan. Dulu, kami tidak mengenal obat bius, semuanya serba alamiah. Masa itu, hanya aku dari sepuluh anak yang berani masuk ke sungai, dari awal sudah ku katakan kalau Ararul Chaniago adalah bujang minang taat, patuh pada semua aturan adat dan nasehat datuk. Berbeda dengan pria yang duduk di depanku ini, ketika delapan anak lainnya sudah meceburkan diri, Rudi masih berdiri dengan keraguan untuk melompat. Ia berdiri, mengambil ancang-ancang, duduk lagi. Berdiri, duduk lagi, sampai Mak Ipen, bapak Rudi geram hingga menceburkan dia secara paksa. Masa yang amat aku rindukan, apa kabar Batu Kambing? Nama sungai tempat kami mandi sebelum khitanan. Apakah anak-anak desaku masih sering mandi di sana? Apakah aliran airnya masih sejernih dulu, saat aku belum meninggalkan kampung halaman dengan tidak terhormat?

            "Arul, dunia ini telah banyak berubah bukan?" Rudi tersenyum lebar. Lagi-lagi aku mengangguk kaku sambil menatap Rudi.

"Mungkin dunia berubah Rud, tapi tidak dengan Arul." Ucapku sambil meneguk kopi yang hampir habis. Rudi lagi-lagi tersenyum, ia mengelus pundakku.

"Pulang, Rul."

"Tidak, aku tidak kan pernah kembali ke sana. Untuk apa?"

"Hei, di sana rumahmu yang sebenarnya, ada amak, apak, datuk menunggu waang. Perbaiki semuanya, pulang, minta maaf dan hiduplah menjadi Arul, kawan kecilku yang tidak pernah kena pukul rotan karena waang selalu patuh, tidak pernah melawan."

            Lagi-lagi, aku menghela nafas, aku menerawang ke langit. Hujan sudah reda, luka hati takkan pernah habis. Rembulan mulai menampakkan diri, tetapi jantungku sudah lama retak, tak utuh lagi. " Rud, tidak semudah itu, aku tidak bisa melupakan sumpah datuk kepadaku. Dengan mata tajam, ia do'akan aku dan Lisa tidak pernah bahagia, ia pastikan keputusan kami untuk menikah adalah sesuatu yang keji, dosa besar. Di mana salah kami Rud? Hanya karena kami sesuku, salahkah aku mencintai Lisa? Toh didalam agama hubungan kami tidak terlarang, tapi..." ucapakanku terhenti mengingat kejadian lima tahun silam. Saat hendak meminta restu menikahi Lisa, bunga desa di kampungku. Namun, yang aku dapatkan hanya kutukan dari apak dan datuk, "Waang, sudah ndak waras Arul!"

"Menikah satu suku haram hukumnya bagi orang Minang bujang! Hidupmu tidak akan selamat, rumah tanggamu tidak direstui niniak mamak, pun nenek moyang tak sudi mempersilahkan kebahagiaan bersama keluargamu nantinya!" Datuk meneriaki aku dengan wajah bengis, tapi aku masih berdalih bahwa aturan adat salah, secara agama kami sah-sah saja untuk menikah, aku bukan mahram Lisa. Hanya saja, kami berasal dari suku yang sama, yaitu Chaniago. Di Minangkabau, menikah sesuku memang dilarang, karena satu suku berarti satu keluarga dan keluarga tidak boleh menikah. Namun, bagi Arul usia 25 tahun aturan tersebut adalah hal yang manyiksa dan tidak masuk akal. Diusia setengah abad, Arul berhenti menjadi bujang taat.

"Kenapa tidak boleh pak? Datuk? Toh Lisa dan saya tidak punya hubungan darah apa-apa. Hanya satu suku saja. Di dalam agamapun satu suku tidak menjadi larangan untuk menikah," aku menatap bapak dan datuk dengan tatapan yang jauh lebih marah. Mendengar ucapanku, bapak diam, menyerah. Sementara datuk menahan air mata, urat wajahnya keluar, "Menikahlah! Nampaknya kau sekarang sudah begitu hebat, kau lebih tinggi dari langit,ilmumu lebih luas dari aku, meikahlah! Lakukan apa yang menurutmu benar! Tinggalkan kampung ini dan kalian bukan lagi orang Minang. Hiduplah bersama kutukan niniak mamak!" Datuk menunjuk pintu rumah, sebab amarah yang berapi-api, aku mangangguk, melangkahkan kaki dari rumah yang sudah membesarkan aku dengan kasih sayang serta nilai adat yang luar biasa baik. "Bujang, sia-sia, dosa besar aku mendidikmu selama ini." Kalimat terakhir yang keluar dari mulut datuk sungguh membekas di relung hati. Tanpa basa basi, aku dan Lisa meninggalkan tanah kelahiran. Kami menikah di kota Istimewa, Jogjakarta. Atas nama cinta dan keegoan kami berjuang hidup di perantauan, kerja banting tulang, hutang sana sini, namun aku bahagia, walau aku tahu di hati masing-masing, kami masih setia merawat luka.

"Arul, berhentilah menjadi keras. Kasihan bayimu." Rudi mulai menyinggung hal yang sangat sensitif bagi seorang Arul. Sambil menahan amarah, aku menatap mata Rudi, tajam. " Jangan bawa-bawa bayiku, dia tidak bersalah. Kenapa kau harus mengasihani dia? Siapa kau? Apa hakmu? Rudi! Kita tidak punya hubungan apa-apa." Lelaki yang duduk di depanku nampak tenang, namun kali ini ia berucap dengan penuh kayakinan "Ada, hubungan kita tidak pernah hilang. Bagiku, waang tetaplah bujang Minang, waang dan mendiang Lisa adalah orang minang sejati. Waang.."  belum sempat Rudi menyelesaikan omongannya, aku meneyela " Aku sudah dicampakkan, berkat kutukan niniak mamak, kami menderita di sini, Lisa menderita dengan penyakit yang tidak jelas, lalu tuhan mengambil nyawanya, membiarkan aku dan bayi kami hidup tanpa Lisa. Bayiku, masih terlalu kecil menghadapi kenyataan ini Rud. Semua karena siapa? Lalu kau suruh aku kembali ke sana?"  Nafasku naik turun.

Diam, aku langsung terdiam ketika Rudi menunjukkan foto batu nisa bertuliskan Datuk Basa, jantung retakku tiba-tiba hancur, nafasku lebih kencang dari sebelumnya. Betapa berdosanya bujang minang satu ini? Dengan keegoisan dan kebesaran kepala aku biarkan datuk kembali ke pencipta sendiri. Takkan lagi ku lihat senyum hangat dari wajah bijak beliau, aku belum sempat meminta maaf, mataku berkaca-kaca, panas. "Rul, selama waang pergi, datuk sakit. Ia mulai pikun, tapi yang ia ingat hanyalah waang, murid kesayangannya. Sebentar beliau ingat waang, sebentar beliau ingat lagi kalau Arulnya sudah pergi, tak tahu ke mana, tak ada kabar, beliau menangis, murung seharian. Besoknya begitu lagi, ingat, marah, menangis, dan murung." Rudi menatapku dalam, seolah menuntut sebuah jawaban dariku, diselaminya manik mataku biar ia temukan sebuah rasa duka penyesalan dan rindu untuk kembali ke ranaha minang. Di dalam manik mataku, bayangan datuk tersenyum semakin membesar, ku lihat beliau jalan sambil merangkul bahuku, ia tersenyum lagi, ahh.

"Ibumu sedang sakit, jangan biarkan ia seperti datuk. Pulang Rul." Rudi sukses membuat aku tertampar, kabar datuk dan ibu penuh membuatku mengangguk, memantapkan diri untuk memaafkan masa lalu, menjadi orang yang berkerelaan, namun dering telfon merusak kenikmatan rasa untuk kembali, setelah mengangkat telfon dari Mbok Minah, sempurna hidupku hancur, tubuhku terasa hampa, hatiku kosong, mengapa tuhan memberiku hidup yang tak sanggup ku jalani? Perlahan, aku mendudukan diri lagi di kursi yang sudah beberapa jam aku duduki, Rudi keheranan, " Rul? Kenapa? Ayo jemput bayimu dan pulang!" Mendengar ucapan Rudi aku tertawa, disela tawa, air mata membasahi wajah lelahku, " Bayiku? Ia sudah menyusul ibunya, persetan dengan kembali ke sana! Tidak akan pernah aku menginjakkan kaki ke tanah yang sudah mengutuk keluargaku! Tidak akan! Aku bukan bagian kalian! Aku, hanyalah sebutir pasir melayang di keramaian kota, aku tidak akan kembali ke tanah hina itu! " Aku meneriaki Rudi sambil memukul dadaku, sekarang tidak dapat ku artikan pandangan Rudi, yang ku tahu ia hanya mengusap bahuku dan melangkah pergi sambil meninggalkan secarik kertas. Dari sisi sudut kertas itu aku tahu, kertas itu adalah tiket pesawat untuk pulang, namun bayangan penderitaan Lisa dan bayiku lebih melukai dan menyentuh titik terlemah seorang Arul, dengan mantap ku buang tiket tersebut, batinku menggebu " Seperti nasehat datuk untuk menjadi hujan, seperti rintiknya, akan ku biarkan diriku jatuh dari ketinggian, tanpa perlawanan, ku relakan awan menjatuhkan aku tanpa belas kasih, ya aku akan menjadi hujan." Aku membatin, menguatkan hati untuk melihat jasad bayi kami yang meninggal beberap menit lalu " Tersenyumlah Rul, hidup terlalu murah untuk kau tangisi!" Lagi-lagi aku mendustai nurani, ah benarkah aku takkan kembali?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun