Redup selalu menyambut pagi di Kota Ini
Udara dingin juga selalu menusuk, membuat keluar rumah menjadi kegiatan yang aku hindarkan.Â
Perasaan sendu terus menghantui setiap orang di dalamnya
Seolah semesta sedang berduka
Atas terbunuhnya hatinya
Rasa welas dan kasih di dalamnya ikut sirna
Membusuk beberapa detik setelah hati itu menyatu dengan tanah.Â
Ambisinya disalahkan atas matinya hati itu
Ambisi mengusai hidupnya, dengan segala culas mengekor di belakangnya
Hal-hal besar sudah menanti di depan matanya
Dengan hanya bekal ambisi dan rasa bangga pada dirinya sendiri, apa rasa hal besar itu nanti?
Menjadi penonton di barisan pinggir, agar tidak terhantam lajunya yang begitu cepat, aku berdoa dengan tidak lugas, memohon tidak ada tikungan yang membuatnya terjatuh.Â
Karena hati sudah meninggalkannya, saat dia terjatuh, maka ambisi akan semakin buas menggerogoti dirinya.Â
Hingga membutakan mata dan pikirannya, lalu dunianya hanya diisi rasa tidak puas dan ingin terus menjadi besar.Â
Pada babak akhir, penyesalan  akan terbunuhnya  hati hanya akan ia temui di sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H