Penggunaan plastik dalam kemasan makanan di masa modern telah menggantikan kemasan tradisional yang terbuat dari bahan alami. Pergeseran ini tidak hanya berdampak buruk pada lingkungan, tetapi juga mengancam hilangnya nilai budaya yang terkandung dalam kemasan tradisional. Namun, lain halnya dengan sajian kuliner tradisional, yaitu legomoro. Legomoro, sebagai makanan tradisional khas Kotagede, akan dijadikan objek penelitian untuk memahami nilai estetika kemasan alaminya. Melihat fenomena sosial tersebut, kami tertarik untuk menganalisis data berdasarkan 5 sila estetika desain.
Hasil Analisis dan Observasi pada Legomoro
Kotagede, sebuah kawasan bersejarah di Yogyakarta, menyimpan kekayaan kuliner tradisional yang unik, salah satunya adalah legomoro. Pada umumnya, legomoro dijual dengan kisaran harga perikatnya yang berisi 4 buah mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 12.000 di Pasar Legi Kotagede. Jajanan ini memiliki kemiripan dengan lemper namun dengan ciri khas tersendiri. Legomoro terbuat dari ketan yang dibungkus daun pisang dan diisi daging ayam atau sapi. Salah satu keunikan legomoro terletak pada kemasannya. Daun pisang kluthuk yang kuat dan harum digunakan sebagai pembungkus utama, sementara tali bambu atau tutus mengikat beberapa buah legomoro menjadi satu ikatan. Kombinasi bahan alami ini tidak hanya mempercantik tampilan, tetapi juga memberikan aroma khas pada legomoro.
Proses pembuatan legomoro melibatkan pemilihan bahan-bahan berkualitas dan teknik pengolahan yang tepat. Sebanyak 11 jenis bumbu digunakan dalam pembuatannya, dan setiap langkah dilakukan dengan cermat untuk menghasilkan cita rasa yang khas. Selain cita rasanya yang lezat, legomoro juga sarat dengan makna filosofis. Kata "legomoro" sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti "datang dengan hati lega". Oleh karena itu, legomoro sering dijadikan hantaran dalam acara pernikahan sebagai simbol keikhlasan hati mempelai pria.
Selain itu, legomoro juga menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi sungkeman pada hari raya Idul Fitri, melambangkan permintaan maaf dan kebersamaan. Legomoro diambil dari bahasa jawa, yang mana kata "Lego" berarti lega dan "Moro" berarti datang. Sehingga memiliki arti kedatangan yang memberikan kelegaan hati. Saat 2 kata ini digabungkan, memiliki arti lego le moro yo lego (Yang datang dengan keridhoan yang didatangi juga keridhoan). Bukan hanya sekedar jajanan, Legomoro juga menjadi warisan budaya Kotagede yang perlu dilestarikan. Keberadaannya sebagai simbol keramahtamahan dan kekeluargaan semakin memperkuat identitas budaya masyarakat Kotagede.
Hasil Analisis Melalui 5 Sila Estetika Desain
1. Sila Pertama, tentang Kesederhanaan, Proporsi, dan Rasionalitas
Legomoro sebagai warisan kuliner tradisional, mengangkat nilai-nilai kesederhanaan, baik dari segi isian, kemasan, hingga filosofisnya, yang mana dalam ini telah menyinggung sila pertama estetika desain. Dari segi isinya, legomoro menggunakan bahan-bahan yang mudah untuk diperoleh dan didominasi oleh rempah-rempah asli Indonesia, seperti santan, garam, gula pasir, merica, bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, kunyit, daun salam, dan batang serai, sehingga menjaga nilai tradisi kuliner masyarakat, terkhususnya pada wilayah Kotagede, Yogyakarta.
Selain itu, rupa kemasannya yang menggunakan bahan alami, yaitu daun pisang, menjadikannya makanan tradisional yang unik, namun sederhana. Nilai keunikan pada kemasan legomoro ini kemudian melahirkan identitas visual akan rupa fisiknya yang merupakan hasil satu ikatan dari 4 buah yang serupa dengan lemper. Identitas visual yang dibangun melalui kemasan menjadikannya sebagai tanda pengenal bagi legomoro untuk memudahkan masyarakat dalam mengenal dan mengingat rupa makanan tradisional tersebut. Dengan demikian, kemasan berbahan alami legomoro yang memiliki unsur kebaruan ini berbeda dari sajian kuliner tradisional lainnya dan tidak memerlukan label tambahan sebagai tanda pengenal untuk dikenali oleh masyarakat.
Setelah sisi kesederhanaannya, kemasan legomoro juga menyinggung sila pertama estetika desain pada proporsinya yang simetris, yaitu keseimbangan. Rupa fisik kemasan legomoro yang merupakan hasil seikat dari 4 buah, mengangkatnya sebagai perwujudan nilai keseimbangan. Dalam hal ini, 4 buah yang diikat jadi satu membentuk pola serupa dengan arah mata angin, atau seperti 4 titik yang seimbang pada tiap sudut persegi.
Setelah sisi kesederhanaan dan keseimbangan, desain kemasan alami dari legomoro juga mengusung nilai rasionalitas, yaitu pada jumlah lembaran daun pisang yang digunakan. Lembaran daun pisang yang berjumlah dua lapis dibuat menyilang, sehingga membuat kemasannya lebih kuat dan tidak mudah robek. Dengan demikian, isian dari legomoro juga menjadi lebih terjaga dan terjamin kebersihannya.
2. Sila Kedua, tentang Masa Depan dan Kebaruan
Sebagai makanan tradisional yang lahir dari tradisi turun temurun masyarakat asal Kotagede, legomoro terwujudkan menjadi salah satu budaya yang memiliki nilai kebaruan karena latar belakangnya. Setelah mengobservasi berbagai makanan tradisional di Yogyakarta, legomoro memiliki rupa kemasan yang paling berbeda dari yang lainnya. Disamping dari wujudnya yang berupa satu buntalan dengan isi 4 buah, penggunaan tali pengikat berbahan dasar bambu, atau dengan nama lainnya adalah tutus pada legomoro melahirkan kebaruan pada dunia desain kemasan makanan tradisional. Sehingga tidak hanya mewujudkan nilai estetika, tutus pada legomoro juga memiliki nilai fungsionalnya, dimana tali pengikat ini dapat berperan sebagai pegangan untuk mempermudah konsumen dalam membawa buntalan makanan tradisional satu ini.
Selain mendalami kebaruan dalam nilai fungsionalnya, legomoro juga mengangkat sila kedua estetika desain ini pada sisi masa depan. Melalui makna yang terkandung didalamnya, legomoro merepresentasikan bentuk harapan serta doa bagi tuan rumah dan para tamu dalam mengadakan acara seperti pernikahan, hari raya, dan sebagainya, agar suasananya berlangsung harmonis. Sehingga bentuk harapan dari keselamatan selama acara ini kemudian menjadi perwujudan nilai-nilai masa depan.