Mohon tunggu...
Karida Salim
Karida Salim Mohon Tunggu... Dokter - Seorang Dokter yang memiliki minat menulis

Seorang dokter yang menulis untuk membagikan pengalaman dan katarsis diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Cinta Terakhir

3 September 2024   21:01 Diperbarui: 3 September 2024   21:05 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


                 Saat itu, dalam hati kecilku, aku merasa bahwa ini adalah kesempatan kedua yang diberikan semesta padaku. Kesempatan untuk memperbaiki segalanya, untuk mengungkapkan perasaanku yang dulu tak pernah tersampaikan. Aku mengumpulkan semua keberanianku, lalu berkata, "Alia, aku ...."


                   Tetapi saat itu, pintu kedai terbuka lagi, dan seorang pria masuk. Ia terlihat terburu-buru, dan langsung berjalan ke arah kami. Alia menoleh dan senyumnya seketika melebar, sesuatu yang belum pernah kulihat sejak kami bertemu kembali.


                   "Maaf, aku terlambat," katanya sambil duduk di sebelah Alia, mencium keningnya dengan lembut.


                   Aku hanya bisa duduk membeku, merasa seluruh dunia runtuh di sekelilingku. Pria itu melihat ke arahku, lalu tersenyum ramah. "Hai, aku Dimas, suaminya Alia."


                   Suaminya. Kata itu menghantamku seperti badai. Aku tak pernah membayangkan ini, tak pernah membayangkan bahwa cinta pertama yang selama ini kusimpan dalam hati telah menjadi milik orang lain. Rasanya seperti mimpi buruk, tetapi aku tahu ini kenyataan.


                   Alia menatapku dengan ekspresi bersalah, seolah ia bisa merasakan semua yang ada di dalam hatiku. "Bagas, aku ... aku ingin kamu bertemu dengan Dimas. Kami sudah menikah setahun yang lalu."


                   Aku mencoba tersenyum, mencoba menutupi luka yang tiba-tiba menganga lebar di dalam hatiku. "Selamat, Alia. Aku ... aku senang untukmu."


                   Percakapan kami berlanjut, tetapi aku hampir tak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Setiap kata yang diucapkan hanya terdengar seperti gumaman, tenggelam dalam suara gemuruh hujan di luar. Aku hanya bisa menatap ke dalam cangkir kopi yang ada di depanku, mencoba mencerna semua ini.


                   Ketika akhirnya mereka pergi, aku tetap duduk di sana, menatap kosong ke arah pintu yang kini tertutup. Hujan di luar tak kunjung reda, seolah-olah langit pun ikut merasakan kepedihanku.


                  Setelah beberapa saat, aku akhirnya berdiri, membayar kopi yang bahkan tak kusentuh, dan berjalan keluar dari kedai itu. Hujan menyambutku dengan deras, tapi aku tak peduli. Biarlah hujan ini menyembunyikan air mata yang perlahan turun di wajahku.


                  Aku berjalan tanpa tujuan, membiarkan kenangan masa lalu membanjiri pikiranku. Semua harapan yang pernah kumiliki tentang kami, semua mimpi yang dulu kuanggap akan menjadi kenyataan, kini hancur berkeping-keping.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun