Berdasarkan ketiga putusan yang bersumber dari wilayah yang berbeda di Indonesia, yakni dari Pengadilan Agama Pacitan, Jawa Timur, Pengadilan Agama Pangkajene, Sulawesi Selatan, dan Pengadilan Agama Sintang, Kalimantan Barat, saya bisa menarik satu kesimpulan, yakni banyak masyarakat khususnya di Indonesia yang ingin melaksanakan atau ingin putra atau putrinya melaksanakan pernikahan dini atas alasan “takut zina” atau memang telah berbuat zina dan berujung kehamilan di luar pernikahan. Bahkan, salah satu putusan diatas terdapat pihak yang memberikan alasan melakukan permohonannya hanya karena rasa cinta yang sudah tidak dapat ditahan lagi.
Sangat tidak masuk akal bagi saya banyak putusan yang mengabulkan permohonan dispensasi ini karena alasan yang bisa dibilang sepele. Dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan juga disebutkan bahwa permohonan akan dikabulkan apabila ada "alasan yang sangat mendesak". Di dalamnya juga tertera bahwa maksud "alasan yang sangat mendesak" berarti memang tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilaksanakan pernikahan.
Apakah sekadar takut zina merupakan alasan yang sangat mendesak? Apakah rasa cinta yang sudah tidak dapat ditahan lagi merupakan alasan yang sangat mendesak dan tidak meninggalkan pemohon pilihan lain? Bagi saya, jawabannya tentu saja tidak.
Berdasarkan website Mahkamah Agung Republik Indonesia Pengadilan Agama Pangkajene, disebutkan beberapa persyaratan untuk memohon Dispensasi Nikah yakni:
- Fotocopy KTP Orang Tua yang dimohonkan Dispensasi Kawin (bermeterai 6000),
- Fotocopy Akta Kelahiran Orang Tua yang memohonkan Dispensasi Kawin (bermeterai 6000),
- Surat Penolakan dari Kantor Urusan Agama (KUA),
- Surat Keterangan Kepala Desa, yang isinya akan mengurus Dispensasi Kawin,
- Surat Permohonan Dispensasi Kawin yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan,
- Pembayaran Panjar Biaya Perkara (biasanya melalui Bank).
Persyaratan sederhana ini dianggap sebagai “bukti pendukung” sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Pemaknaan "alasan yang sangat mendesak" dan "bukti-bukti pendukung" ini terlalu variatif dan tidak memiliki batasan pasti sehingga penafsirannya bagi saya terlampau luas. Kemudahan proses dispensasi pernikahan ini juga tentunya menjadi salah satu faktor pendorong banyak orang tua mengambil “jalan pintas” atas permasalahan anaknya.
Pernikahan Dini dianggap solusi terbaik untuk mengatasi pergaulan bebas. Berpacaran lama? Menikah. Menginap di satu kamar yang sama? Menikah. Takut anak berbuat zina? Menikah. Hamil di luar nikah? Menikah. Menikah justru dijadikan jalan keluar yang seharusnya pernikahan merupakan proses yang membutuhkan pemikiran serta mental yang siap dan matang. Isu ini tak bisa selamanya kita normalisasi.
Kita tak bisa menyepelekan masa depan bangsa Indonesia dengan tidak adanya edukasi seksual bagi remaja. Edukasi ditujukan bagi kalangan remaja, bukan untuk mengajarkan mereka melakukannya, melainkan memberikan informasi atas dampak seks bebas yang nantinya dapat berujung pada pernikahan dini.
Seperti yang disampaikan Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world,” Kata-kata ini bermakna besar bagi saya karena saya sangat sependapat dengan Nelson Mandela. Menurut saya, pendidikan adalah satu-satunya jalan pembuka perubahan bagi masa depan bangsa Indonesia.
Pelaksanaan pendidikan ini tak hanya melalui sekolah atau lembaga formal, melainkan dari keluarga sendiri karena keluarga berperan sebagai pendidikan pertama dan utama bagi anak. Neng Djubaedah, S.H., M.H., Ph.D., dalam seminar nasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang bertemakan POLEMIK PERNIKAHAN DINI: Pandangan Hukum, Psikologi, Kesehatan, dan Ketahanan Keluarga menyampaikan bahwa remaja tak hanya membutuhkan pendidikan formal namun juga membutuhkan pendidikan mengenai nilai agama dan moral.
Tak hanya bagi remaja, orang tua pun perlu diberikan pembekalan atau edukasi tentang Parenting, misalnya berupa Sosialisasi Pendewasaan Usia Nikah oleh Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Desa Pagelaran, Cianjur, Jawa Barat pada bulan Februari silam. Pernikahan Dini dapat dicegah lewat peningkatan kesadaran pendidikan, pengetahuan kesehatan mental, fisik, reproduksi, dan pendewasaan yang tentunya tak lepas dari pengaruh orang tua.