Mohon tunggu...
Karenina Sara Sumihar Pakpahan
Karenina Sara Sumihar Pakpahan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Halo! Saya Karenina, yang biasa dipanggil Nina. Saat ini saya menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Senang sekali bisa berbagi di sini! Jangan lupa untuk mengikuti perjalanan saya di Instagram: @kareninasarasp

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pernikahan Dini sebagai Budaya: Jalan Pintas Pergaulan Bebas?

13 Desember 2022   20:30 Diperbarui: 14 Desember 2022   11:55 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2020, berdasarkan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) bersama United Nations Children's Fund (UNICEF), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut bahwa dilihat dari populasi penduduk,  Indonesia menempati urutan ke-10 angka pernikahan anak tertinggi di dunia. Sekitar 60% angka pernikahan dini di Indonesia terletak di Provinsi Jawa Timur khususnya Madura seperti Kecamatan Pacitan, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Pastinya kita bertanya-tanya mengapa pernikahan dini marak terjadi di Indonesia?

Sebelum berlanjut ke pertanyaan mengapa, sebaiknya kita mulai dengan pertanyaan apa. Apa itu Pernikahan Dini? Menurut Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pernikahan Dini atau dalam bahasa Inggris disebut Child Marriage merupakan ikatan yang dilakukan oleh pasangan yang masih tergolong dalam usia muda pubertas. Pernikahan Dini dilakukan oleh seseorang, baik laki-laki maupun perempuan di saat usianya belum mencapai kematangan yang sebenarnya sesuai Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yakni pria berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun.

Pernikahan Dini kerap kali menjadi suatu budaya yang dijalankan turun temurun. Tentu mengejutkan sekaligus mengherankan karena pernikahan yang seharusnya adalah sakramen sakral justru dijadikan sebagai ajang untuk perampasan hak asasi. Kontroversi Pernikahan Dini biasanya dipicu dari sisi budaya dan kurangnya edukasi. Dari sisi budaya, di Madura sendiri terdapat adat bernama “tan-mantanan” yang memiliki makna pengantin anak kecil yang diperlakukan seperti pengantin orang dewasa. 

Dalam penelitian sebelumnya, di pulau Madura masyarakatnya mengadakan perkawinan bahkan sebelum baligh, yakni usia seseorang dalam Islam pada tahap kedewasaan. Usia perkawinan dimulai antara 3-15 tahun untuk perempuan dan 0-20 tahun untuk laki-laki. Mereka mengaku “pernikahan” ini hanya dilakukan untuk ikatan keluarga yang nantinya akan menikahkan anaknya masing-masing.

Adat ini membuat orang-orang di Madura dan sekitarnya menjadikan perempuan sebagai warga kelas nomor dua dan objek semata karena perempuan yang masih belum menikah hingga umur 18 tahun akan dijadikan bahan ejekan dan dijuluki ta’ paju lake. Miris, tradisi ini sudah menjadi hal yang lazim dan justru menjadi identitas bagi masyarakat Madura.

Opini tentang banyaknya kaum perempuan daripada laki-laki sehingga mereka takut tidak mendapatkan jodoh, adanya perasaan hutang budi antarkeluarga, juga karena rasa ingin mengeratkan hubungan keluarga yang sudah renggang biasanya menjadi alasan utama sebuah keluarga menikahkan anaknya yang masih kecil. Sangat disayangkan bahwa tradisi ini hanya memikirkan nama baik keluarga bukan kondisi dari pihak mempelai, khususnya wanita. 

Apakah wanita ini siap? Apakah pria ini siap? Bagaimanakah keluarga yang akan mereka bina? Apakah mereka mampu? Apakah sudah diberikan pengetahuan reproduksi dan bagaimana pernikahan sesungguhnya dijalani? Banyak pertanyaan yang cenderung dilupakan, cenderung dilangkahi. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini malah dinomorduakan oleh keluarga disana padahal menjadi penentu masa depan sang anak.

Dampak pernikahan dini tak bisa dianggap sepele terutama bagi perempuan karena mencakup berbagai aspek vital dalam kehidupan mulai dari aspek fisik dan psikologis. Dampak bagi aspek fisik diantaranya adalah organ reproduksi yang belum siap sehingga menyebabkan kesakitan, trauma seks berkelanjutan, pendarahan, keguguran, bahkan yang paling fatal adalah kematian saat melahirkan.  Tak hanya itu, juga timbul pula dampak psikologis yang mengkhawatirkan seperti kecemasan, stress, depresi, dan berujung perceraian karena belum siapnya mental dan kondisi diri.

Lantas, yang menarik perhatian saya adalah bagaimana pemerintah dalam penegakan hukumnya merespon atau menanggapi isu ini. Dalam riset yang telah saya lakukan, saya menemukan kurang lebih 7748 data dengan kata kunci “Dispensasi untuk Menikah” dalam website Mahkamah Agung.

Memang berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 masih dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap ketentuan umur 19 tahun tersebut, yaitu dengan cara orang tua pihak pria dan/atau pihak wanita meminta dispensasi kepada pengadilan. Namun, harus didasari dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Didasari rasa ingin tahu, saya menggali lebih lanjut apa sebenarnya alasan para pemohon melakukan permohonan dispensasi pada Pengadilan mengenai Pernikahan Dini karena jumlah berkas pemohon yang menyentuh angka ratusan bahkan ribuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun