Sontak membuat kami sedikit kaget dan saling pandang sambil tersenyum ke-geer-an. Tanpa ragu saya langsung menyerahkan sepeda kepada dia, tentu saja dia merasa senang, apalagi akuh, hihihi. Sambil berucap terimakasih dengan diselipi senyuman manis, dia pun bergegas melaju.
Â
Sementara kedua sahabatnya pun mendapat pinjeman sepeda milik dua teman saya tersebut, lalu mereka mengayuh mengikuti DL. Kami saling kejar-kejaran, mereka pakai sepeda, kami hanya berlari-lari dibelakangnya sambil tertawa-tawa. Hati saya malah sumringah dan berbunga-bunga karena si dia nampak bahagia memakai sepedaku.
Setelah bosan main sepeda, kami main boy-boyan, demikian kami dulu menyebutnya, sebuah permainan klasik dan sederhana, bisa j melempar bola ke tumpukan pecahan genting, bolanya terbuat dari gulungan kantong plastik bekas hingga sebesar kepalan tangan, diikat karet gelang. Bisa jadi ini merupakan salah satu permainan tradisional anak - anak tempo doeloe.Â
Bisa per grup atau perorangan, pemain yang melempar bola ke susunan genting, harus segera lari setelah menghancurkan susunan genting tersebut untuk menghindari lemparan bola dari pemain lawan yang menjaga susunan genting, jika terkena dinyatakan kalah.
Serunya permainan tersebut, membuat kami begitu semangat bahkan para gadis-gadis tersbut sering jerit-jerit gak jelas, sehingga sempat ditegur salah seorang guru pengawas ujian, karena dinilai terlalu berisik sehingga mengganggu murid yang tengah ujian.
Karena saya ada hati kepada si dia, saya pun melakukan pendekatan yang kalau sekarang mah disebutnya "modus". Pas bagian jaga, saya selalu lempar bola ke arahnya, mengejarnya terus menerus sampai kena.
Sampai kedua sahabatku berseru, " Adeuuh...adeuuhh" ( Dalam bahasa Sunda artinya cieee...cieee)
Setelah main boy-boyan dilanjutkan dengan main kucing-kucingan. Permainan ini adalah permainan yang lebih ringan tapi sama seperti boy-boyan ada unsur olah raganya yaitu lari mengejar. Pemain yang mengejar adalah pemain yang dinyatakan dari hasil suwit dengan nyanyian khas, jika yang tercapit telapak tangan artinya itu yang jadi kucing (pengejar atau penangkap).
Sewaktu saya kebagian jadi kucing, tentu saja yang terus saya tuju dia terus, sampai lama-lama dia pun kesal, karena merasa sejak main sepedahan saya terus dekat-dekatin dia, hingga mengungkapkan kekesalannya, "Eh kamu kenapa sih sering ngarah-ngarah (tuju) terus aku dari tadi?"
Saya hanya seuri koneng ( senyum dengan terlihat gigi kuning) sambil tersipu malu. Yang lain hanya tertawa dan bersorak tak jelas.