Mohon tunggu...
Cuham Beib
Cuham Beib Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadikan Sepeda Sebagai Moda Transportasi sehari-hari kemana saja,

Penulis amatiran, ringan , dan sederhana. Penikmat sepeda harian. Icon Bersepeda itu Baik.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Lika Liku Kehidupan Bertetangga dan Menjadi Pengurus Warga

4 Januari 2022   13:08 Diperbarui: 4 Januari 2022   22:18 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SAYA lahir dan dibesarkan di salah satu gang atau perkampungan  yang berada di pinggir sungai Cikapundung, belahan utara Kota Bandung. Sebut saja namanya Cimaung, mengambil dari nama hewan Maung (Harimau), karena konon daerah tersebut pada zaman dahulu kala terdapat sebuah goa tempat atau sarangnya Harimau.

Di era 70an, saat itu kondisinya masih terasa kental aura pedesaan, lahan hijau yang luas, air sungai cukup jernih, rumah-rumah yang sederhana, dan jumlah warganya masih bisa dihitung dengan jari, sehingga nuansa kehidupan bertetangganya pun nyaris tanpa cela.

Memasuki era 80an, kondisi mulai berubah seiring penduduk mulai bertambah. Banyak lahan hijau tergerus pembangunan, air sungai sudah mulai berwaran kecoklatan, hamparan sawah pun sudah berangsur-angsur hilang.

Meski demikian, kehidupan bertetangga di era tersebut relatif berjalan cukup baik, penuh rasa kebersamaan, gotong royong, keramahan, dan saling menghargai. Uniknya, selalu memunculkan icon sosok populer terutama para pelaku usaha atau pedagang, misalkan Bubur Mang Unen, Warung Ceu Ining, dan Bakso Mang Isak. Selain sosok pedagang, juga sosok-sosok yang populer dengan nama alias atau dalam bahasa Sunda landihan seperti Ujang Tuver, Edi Stone, dan Tedi Hunter.

Namun seiring perkembangan zaman pembangunan dan teknologi, era 90 kondisinya makin berubah, tak hanya pemukiman menjadi begitu padat,pertambahan penduduk yang tinggi, banyaknya pendatang, juga kehidupan bertetangga yang baik semakin berkurang, kerja bakti dan kegotong royongan nyaris musnah, tergerus individualisme.

Hidup bertetangga di kampung padat kumuh kota pada era 90an dan memasuki tahun 2000an, penuh dengan tantangan dan lika liku, meskipun interaksi sosialnya masih terasa  hidup dan dinamis. Saat itu saya tumbuh aktif di masyarakat setempat seperti di Karang Taruna, menjadi ketua Rukun Tetangga (RT),  dan pengurus Rukun Warga (RW).

Beragam persoalan mau tak mau harus siap dihadapi, dari mulai pertikaian antar tetangga, keluarga, pemuda, hingga antar RT. Belum dihadapkan pula dengan persoalan lainnya yaitu sampah masyarakat,  persaingan, asmara, pergunjingan (gosip), konflik kepengurusan, sekelompok masyarakat yang tidak suka para pengurus RT/RW saat itu dan sebagainya.

Tapi dibalik berbagai problem sosial tersebut, tetap menyisakan tumbuhnya  suasana seru dan guyub (akrab)  di moment-moment tertentu, biasanya saat  munggahan (menjelang bulan Ramadan), saat puasa Ramadan, hari raya Lebaran, rembug warga, pemilu, hajatan , dan agustusan atau peringatan hari raya Kemerdekaan Republik Indoneisia (RI).

Nuansa agustusan di jalan gang itu memang penuh sensasi, unik , menyenangkan sekaligus menegangkan, bagaimana tidak tegang, keramaian itu telah menghambat arus jalan yang mana tidak semua warga suka akan hal tersebut karena merasa kesulitan melintas. Kalau ada perlombaan panjat pinang kita harus ekstra hati-hati, terutama dengan rangkaian kabel-kabel listrik di atas yang berentangan kesana kemari.

Dilengserkan dari kepengurusan RW

Pada tahun 2005, merupakan tahun perdana program Bantuan Langsung Tunai (BLT) pemerintah RI dalam rangka merespon kenaikan Bahan Bakar  Minyak (BBM) dunia saat itu yang berdampak pada masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Saat itu saya tengah menjadi pengurus Rukun Warga, dan ditunjuk sebagai tenaga surveyor pendataan warga tak mampu dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mana data tersebut menjadi acuan masyarakat yang akan menerima BLT.

Saat BLT itu turun, masyarakat yang mendapat bantuan tentu saja sangat bergembira, ada yang belum dibelanjakan kebutuhan, ada pula yang langsung belanja-belanja, bahkan dengan bangganya mereka belanja di super market.

Hal tersebut telah menimbulkan gejolak masyarakat dimana-mana bahkan secara nasional,  terutama bagi mereka yang tidak mendapatkan bantuan. Tersiar kabar sampai ada yang membunuh ketua RT, dan merusak fasilitas umum. Termasuk di daerah saya tersebut, dari pagi hingga malam saya didatangi warga yang protes, dan marah. Malah ada ibu-ibu yang merasa tidak suka lihat saya hingga saat ini Hahaha.

Gegara gejolak BLT, ditambah ada rasa dendam pribadi, dan ketidak sukaan terhadap  kinerja pengurus RW, Saya selaku bendahara, sekretaris, dan Ketua RW, dengan berat hati  mengundurkan diri dari pengabdian menjadi pengurus RW, karena adanya intervensi dari sekelompok masyarakat yang tidak puas tersebut.

Itulah sebagian lika-liku saat hidup bertetangga dan menjadi pengurus masyarakat yang berada di gang atau perkampungan padat perkotaan. Tapi dari situlah saya belajar berinteraksi sosial, menghadapi dinamika, dan belajar menjadi orang yang bisa memilah mana yang beradab dan tidak beradab.

Salam sehat, semangat, dan tetap waspada. Selalu menerapkan protokol kesehatan, semoga pandemic segera berlalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun