Pada tahun 2005, merupakan tahun perdana program Bantuan Langsung Tunai (BLT) pemerintah RI dalam rangka merespon kenaikan Bahan Bakar  Minyak (BBM) dunia saat itu yang berdampak pada masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Saat itu saya tengah menjadi pengurus Rukun Warga, dan ditunjuk sebagai tenaga surveyor pendataan warga tak mampu dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mana data tersebut menjadi acuan masyarakat yang akan menerima BLT.
Saat BLT itu turun, masyarakat yang mendapat bantuan tentu saja sangat bergembira, ada yang belum dibelanjakan kebutuhan, ada pula yang langsung belanja-belanja, bahkan dengan bangganya mereka belanja di super market.
Hal tersebut telah menimbulkan gejolak masyarakat dimana-mana bahkan secara nasional, Â terutama bagi mereka yang tidak mendapatkan bantuan. Tersiar kabar sampai ada yang membunuh ketua RT, dan merusak fasilitas umum. Termasuk di daerah saya tersebut, dari pagi hingga malam saya didatangi warga yang protes, dan marah. Malah ada ibu-ibu yang merasa tidak suka lihat saya hingga saat ini Hahaha.
Gegara gejolak BLT, ditambah ada rasa dendam pribadi, dan ketidak sukaan terhadap  kinerja pengurus RW, Saya selaku bendahara, sekretaris, dan Ketua RW, dengan berat hati  mengundurkan diri dari pengabdian menjadi pengurus RW, karena adanya intervensi dari sekelompok masyarakat yang tidak puas tersebut.
Itulah sebagian lika-liku saat hidup bertetangga dan menjadi pengurus masyarakat yang berada di gang atau perkampungan padat perkotaan. Tapi dari situlah saya belajar berinteraksi sosial, menghadapi dinamika, dan belajar menjadi orang yang bisa memilah mana yang beradab dan tidak beradab.
Salam sehat, semangat, dan tetap waspada. Selalu menerapkan protokol kesehatan, semoga pandemic segera berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H