SAYA lahir dan dibesarkan di salah satu gang atau perkampungan  yang berada di pinggir sungai Cikapundung, belahan utara Kota Bandung. Sebut saja namanya Cimaung, mengambil dari nama hewan Maung (Harimau), karena konon daerah tersebut pada zaman dahulu kala terdapat sebuah goa tempat atau sarangnya Harimau.
Di era 70an, saat itu kondisinya masih terasa kental aura pedesaan, lahan hijau yang luas, air sungai cukup jernih, rumah-rumah yang sederhana, dan jumlah warganya masih bisa dihitung dengan jari, sehingga nuansa kehidupan bertetangganya pun nyaris tanpa cela.
Memasuki era 80an, kondisi mulai berubah seiring penduduk mulai bertambah. Banyak lahan hijau tergerus pembangunan, air sungai sudah mulai berwaran kecoklatan, hamparan sawah pun sudah berangsur-angsur hilang.
Meski demikian, kehidupan bertetangga di era tersebut relatif berjalan cukup baik, penuh rasa kebersamaan, gotong royong, keramahan, dan saling menghargai. Uniknya, selalu memunculkan icon sosok populer terutama para pelaku usaha atau pedagang, misalkan Bubur Mang Unen, Warung Ceu Ining, dan Bakso Mang Isak. Selain sosok pedagang, juga sosok-sosok yang populer dengan nama alias atau dalam bahasa Sunda landihan seperti Ujang Tuver, Edi Stone, dan Tedi Hunter.
Namun seiring perkembangan zaman pembangunan dan teknologi, era 90 kondisinya makin berubah, tak hanya pemukiman menjadi begitu padat,pertambahan penduduk yang tinggi, banyaknya pendatang, juga kehidupan bertetangga yang baik semakin berkurang, kerja bakti dan kegotong royongan nyaris musnah, tergerus individualisme.
Hidup bertetangga di kampung padat kumuh kota pada era 90an dan memasuki tahun 2000an, penuh dengan tantangan dan lika liku, meskipun interaksi sosialnya masih terasa  hidup dan dinamis. Saat itu saya tumbuh aktif di masyarakat setempat seperti di Karang Taruna, menjadi ketua Rukun Tetangga (RT),  dan pengurus Rukun Warga (RW).
Beragam persoalan mau tak mau harus siap dihadapi, dari mulai pertikaian antar tetangga, keluarga, pemuda, hingga antar RT. Belum dihadapkan pula dengan persoalan lainnya yaitu sampah masyarakat, Â persaingan, asmara, pergunjingan (gosip), konflik kepengurusan, sekelompok masyarakat yang tidak suka para pengurus RT/RW saat itu dan sebagainya.
Tapi dibalik berbagai problem sosial tersebut, tetap menyisakan tumbuhnya  suasana seru dan guyub (akrab)  di moment-moment tertentu, biasanya saat  munggahan (menjelang bulan Ramadan), saat puasa Ramadan, hari raya Lebaran, rembug warga, pemilu, hajatan , dan agustusan atau peringatan hari raya Kemerdekaan Republik Indoneisia (RI).
Nuansa agustusan di jalan gang itu memang penuh sensasi, unik , menyenangkan sekaligus menegangkan, bagaimana tidak tegang, keramaian itu telah menghambat arus jalan yang mana tidak semua warga suka akan hal tersebut karena merasa kesulitan melintas. Kalau ada perlombaan panjat pinang kita harus ekstra hati-hati, terutama dengan rangkaian kabel-kabel listrik di atas yang berentangan kesana kemari.
Dilengserkan dari kepengurusan RW