MENIKMATI suatu tempat, kota, atau daerah  yang indah, nyaman , asri, teratur, rapi, dan bersih dengan dibarengi masyarakatya dari semua kalangan sadar lingkungan adalah sebuah impian semua orang. Namun impian tersebut tak terwujud manakala sebagian besar masyarakat abai bahkan tidak peduli terhadap lingkungan. Bukan hanya masyarakat kecil saja yang tak memiliki kerangka berfikir tentang lingkungan tapi dikalangan elit politik pun demikian adanya.
Tak bisa dihindari, sebentar lagi kita akan dihadapkan kembali pada musim di mana para politisi berlomba-lomba "memelas" meraih empaty masyarakat dengan memasang baliho bergambar dirinya yang terlihat penuh ambisi dan percaya diri dengan latar belakang nuansa warna khas sesuai partai pengusungnya disertai tulisan jargon andalannya, semacam iming-iming optimisme kesejahteraan untuk rakyat atau kebaikan untuk Negara.
Baliho-baliho tersebut terpajang diberbagai sudut tempat seperti pinggir jalan, taman, papan iklan, perempatan dan sebagainya, Â dari yang berukuran kecil hingga yang segede gaban sesuai kemampuan masing-masing politisi.
Sayangnya, banyak politisi yang tak memiliki pola pikir yang baik terhadap lingkungan, selain di pajang disembarang tempat, tidak beraturan, saling bertumpuk-tumpuk , pemasangannya yang tidak benar hingga bisa membahayakan orang yang lewat juga rangkanya dipaku menempel di pohon atau merusak tanaman, dengan begitu bukan hanya akan membuat  estetika kota menajdi suram tapi juga merusak lingkungan. Itulah yang kami sebut sebagai "dosa ekologis" para politisi. Dan mereka kurang menyadarinya.
Lucunya, sangat langka politisi yang memilik jargon-jargon atau misi visi utamanya adalah perbaikan maupun penyelamatan lingkungan, lebih banyak misi visi kesejahtaraan buat rakyat kecil. Alih-alih ingin mensejahterakan rakyat, setelah berhasil duduk manis di parlemen, malah focus utamanya adalah mensejahterakan buat dirinya untuk mengembalikan modal habis-habisan saat berkampanye dengan "menuai" proyek-proyek besar dan menguntungkan, lebih parahnya korupsi atau menerima uang suap.
Baliho-baliho politisi yang malah merusak lingkungan tersebut tiap musim kampanye selalu tidak ada perubahan dan ada pembiaran, bukan lagi mempercantik tapi malah memperburuk wajah kota, dan masyarakat hanya bisa pasrah dan terbiasa menyaksikan hal itu dengan sareuseuk ( keruwetan ) tanpa bisa berbuat apa-apa.
Padahal ini era digital, meskipun banyak yang sudah beralih kampanyenya secara visual tapi tetap saja mereka masih menggunakan baliho, entah ingin lebih puas sehingga semua media dimanfaatkan untuk berkampanye politiknya, terutama bagi politisi yang koceknya besar.
Memang yang memasang balihonya bukan poltisi yang bersangkutan, bisa jadi para pekerja yang disuruh oleh tim suksesnya. Namun alangkah eloknya jika sang politisi tersebut memiliki kerangka berpikir terhadap lingkungan dan menurunkan kepada tim suksesnya yang kemudian diturunkan kembali kepada orang-orang suruhannya atau pekerja untuk tidak memasang balihonya dengan mengabaikan lingkungan. Sesederhana itu loh sebenarnya..
Saya tidak mau berandai-andai, jika saya seorang politisi akan begini begitu, karena bukan masanya lagi saya mengejar profesi jadi politisi,  tapi saya menaruh harapan besar kepada para politisi yang ada , jika memang memajang baliho masih menjadi andalan dalam berkampanye politikya, please untuk menyadari arti sebuah lingkungan yang baik dan estetika kota yang indah. Jangan menambah keruwetan wajah kota dengan beban baliho-baliho bergambar dirimu  yang bertebaran memenuhi sudut tempat. Jangan rusak citra dan karir politikmu dengan dosa-dosa ekologis. Bisa kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H