Saya Detatang berasal dari Kamal Larangan Brebes. Logo Brebes yang memiliki kode bawang merah tentu sangat membuat saya bangga. Pasalnya saya dibesarkan dari hasil jerih payah orangtua bertani bawang merah. Ketika saya kecil jujur saya tidak ingin jadi petani, hal ini dikarenakan seringnya saya mendengar orangtua mengeluh jika penghasilannya pas-pasan bahkan terkadang merugi jika harga anjlok dan bawang terkena hama.Â
Dalam pikiran saya kala itu sering bertanya sendiri, kenapa orangtua masih terus bekerja meski hasilnya pas-pasan ? Â bahkan tak jarang saya bertanya ketika harga bawang anjlog , kenapa hanya harga pupuk dan obatnya yang begitu mahal ? dan yang membuat heran orangtua selalu melarang saya ke kebun, dan berpesan agar saya tidak jadi petani jika dewasa nanti. Ada apa sebenarnya ? lalu kenapa ayah ibu saya mau jadi petani, jika mereka tak ingin anaknya jadi petani?
Apa yang orangtua tanamkan pada saya membuat saya begitu negative menilai pekerjaan mereka, sampai-sampai ketika interview pertama saya melamar kerja, saya jawab petani adalah pekerjaan yang paling saya benci, ketika HRD menanyakan apa pekerjaan yang paling tidak saya sukai?
Beranjak dewasa dan setelah beberapa kali masuk dunia kerja akhirnya saya sadar bahwa petani adalah suatu profesi dan pekerjaan yang sangat luar biasa.
Alhamdulillah saya yakin 100% Â bahwa dari kecil saya diberikan orangtua saya rezeki yang halal, keyakinan inipun karena saya tahu betul dari dulu mereka adalah seorang petani tulen.
Berbagai pekerjaan dan kawan dari berbagai jenis profesi membuat saya sadar tidak semua pekerjaan itu menghasilkan rizki yang halal. Bahkan banyak jenis pekerjaan halal namun didalamnya mengandung uang haram, seperti uang suap, uang dari  barang yang bukan haknya dan lain sebagainya. Bahkan saya sempat berpikir bahwa hanya pekerjaan ayah sayalah yang 100% kehalalannya.
Meski kadang hasilnya pas-pasan, tak sebanding dengan kerja keras dan modal namun rizki yang dihasilkan barokah. Buktinya ayah saya mampu membiayai pendidikan saya dan adik, bahkan membiayai pernikahan kami berdua, yang padahal biaya menikah di desa kami itu tidaklah kecil.
Minimal harus ada dana 40 juta keatas untuk biaya menikah, tapi ternyata orangtua saya mampu membiayai itu bahkan 2 tahun berturut-turut,karena setelah satu tahun adik saya menikah sayapun menyusul kurang dari satu tahun setelahnya.
Sayapun heran karena biasanya orangtua tak ada uang sama sekali, bahkan sering sayapun pinjam hanya untuk bisa berangkat kuliah.
Dan yang tak kalah penting yang saya pelajari dari orangtua adalah sikap optimis. Meski hasil tak menentu ketika saya berulang kali ingin menikah dengan posisi masih kuliah, orangtua tidak mengiyakan namun juga tidak menolak. Mereka hanya bilang, adik dulu yang menikah karena perempuan, setelahnya kamupun Insya Allah bisa cepat menikah.
Begitu juga ketika hendak merenopasi rumah, bukannya hanya sebagian, namun seluruh tembok dibongkar. Timbul rasa pesimistis dalam hati saya , karena saya paham betul keuangan orangtua saat itu, namun Alhamdulillah rumah itu buktinya sudah berdiri kembali sedikit lebih baik dari sebelumnya, dan yang lebih penting dengan kondisi tembok lebih baru.