Mohon tunggu...
Satya Karasuma
Satya Karasuma Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis setengah matang. A dreamer in a thorny way.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Marionette - The Living Doll

22 Januari 2012   09:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:35 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Marionette - the Living Doll"][/caption] Bulan tinggi, bulat sempurna berselimut awan kelam musim dingin. Terangnya seolah ngotot ingin memerangi gelap malam. Saat itu, malam hanya ramai oleh desau angin dan suara salju-salju yang jatuh ke bumi. Sesekali terdengar gonggong anjing yang terganggu oleh tikus yang berlarian di sekitar mereka. Tiba-tiba ramai tersebut pecah oleh derap-derap langkah kaki 2 anak manusia. Keduanya tampak ingin meloloskan diri dari sesuatu. Uap-uap lembut yang mengepul dari mulut mereka menandakan nafas mereka mulai habis. Telah jauh tampaknya pelarian mereka. Bruk! “Lady Anne!” Suara yang tersentak kaget sekaligus khawatir itu terdengar jantan, tetapi menyampaikan kelembutan. Wanita itu mengangguk, lalu segera bangkit melanjutkan pelarian. Bahkan tak ada waktu untuk menjawab pertanyaan kekasihnya. Mary Anne, gadis yang baru saja jatuh tadi adalah kekasih tanpa restu dari William McWhalen, Putra seorang Duke dari Lancaster. Keduanya memasuki hutan yang berkarpet putih. Hutan dengan pepohonan yang dahannya telah kosong. Sepi. Mereka terus berlari melewati pepohonan yang pucat karena salju. Cahaya bulan membentuk pepohonan jadi siluet-siluet menakutkan. Siluet-siluet yang seakan siap untuk mencegat, memberi henti pada pelarian mereka. Was-was. Namun tak ada kata kembali. Jauh di dalam sana, di dalam hutan serba hitam-putih, dingin dan gelap, gerak kedua sosok tersebut semakin pelan. Mereka memilih untuk istirahat. Kebetulan, ada gelondongan kayu dari pohon yang tumbang. Pas untuk duduk, mengambil nafas. Nafas keduanya beradu. Mereka saling tatap dengan mata yang menyesalkan sebuah cerita yang harus berakhir begini. Namun pancar mata masing-masing memberi keyakinan, akan ada hari bahagia bagi keduanya di suatu tempat, entah di mana. Isi kepala William campur aduk. Sebenarnya, dialah yang paling takut akan pelarian ini. Bukan cuma masa depan mereka, tapi juga… Keselamatan kekasihnya. Sang Duke, ayahnya, jelas akan membunuhnya. Ketakutan William memang beralasan lantaran keanehan di Lancaster dan lingkaran kehidupan ayahnya. Siapa pun mencari masalah dengan Sang Duke, dia dipastikan berakhir pada pemakaman kelabu. Namun Duke tak pernah dicurigai. Sang Duke selalu bersih dari setiap kematian yang terjadi di sekitarnya. Tak pernah ada bukti mampu menuntun sampai padanya. Memang, pernah ada satu korban yang sempat masih hidup. Namun kesaksiannya tidak menyebutkan apapun tentang Duke of Lancaster. Melainkan hanyalah gambaran sosok gadis cilik, bermata hijau, berambut merah, yang ia ucapkan berulang kali. Ia ucapkan dalam gemetar bibirnya sambil meregang nyawa. Karena itu meski menuduh Duke, tetapi William tak pernah bisa yakin. Hanya saja satu yang pasti. Gadis itu, kekasihnya itu, dalam bahaya. Ia masih menatap dalam mata bening Sang Lady. Dalam kedua mata yang memantul cahaya bulan itu, diam-diam ia berharap bahwa pelarian keduanya ke Perancis akan sukses. Mary Anne, Sang Lady yang terkenal akan keanggunannya langsung memahami kecemasan Tuan yang juga sekaligus kekasihnya itu. Ia genggamkan kedua tangannya pada tangan Sir William, erat. Ia angkat setinggi dada sambil terus memandang lekat. Kali ini, melalui tatap mata, keduanya saling berbagi kecemasan dan harapan. “Ini cinta. Ini yang kubutuhkan,” pikir keduanya. Sontak keduanya tersentak kaget. Terdengar suara seseorang dari arah mereka datang. Suara seorang gadis. Tapi siapa? “Lady! Lady! Lady Anne! Kakak!” Suara yang seolah putus asa tersebut begitu lemah dan lembut. Suara gadis kecil yang dikenal keduanya. “Marionette!” seru keduanya. Demi Jove! Apa yang gadis kecil itu lakukan di sini ini? Keduanya dihantui kecemasan dan kebingungan. Hati mereka membisikkan keganjilan yang menusuk pikiran. Tetapi kecemasan pada gadis cilik itu menggelapkan semuanya. Lady Anne segera melepas genggamannya. Bergegas menjemput Marionette, adik perempuan Sir William. Bagi Mary Anne, gadis cilik itu favoritnya. Matanya, rambutnya, pakaian victoriannya yang selalu gelap, yang memberi kemuraman. Semua tampak indah pada sosok Marionette, menurut Lady Anne. Gadis cilik dengan aura hasil perpaduan kelucuan dan kemuraman itu adalah tempat kedua di mana ia menaruh hatinya. Sir William McWhalen masih pada posisinya duduknya. Memandangi punggung Lady Anne yang berlari ke arah adiknya. Tubuhnya tak bergerak, bagai dimantrai oleh wanita penyihir tua yang jahat. Kebekuannya beralasan. Bagaimana tidak? Semua ini misterius. “Marionette…? Bagaimana dia…? Apa yang…?” Pria cerdas itu mencoba mencerna semua keganjilan bersalju ini. Semuanya tampak menakutkan. Tak seorang pun tahu kebenaran seperti apa yang berada di balik tumpukan salju penuh misteri ini. Tiba-tiba, muncul singkat di kepala Sir William, semua pembunuhan di sekitar Lancaster dan Sang Duke. Kesaksian saksi itu. Saksi yang yang ia bayangkan saat ini masih gemetar, menggigil dari balik tanah bersalju. Bukan karena dingin, tetapi karena... GADIS CILIK! Ya, Tuhan! Teriaknya dalam hati, seketika setelah kebenaran muncul. Ia sigap berdiri, mengejar Sang Lady. “Kembali! Lady Anne, Kembali! Demi Jove! Jangan dekati dia!” Ia berlari sekuat tenaga. Tangannya seolah ingin meraih gadisnya. “Tidak Tuanku! Itu Marionette!” Lady Anne berkeras karena kecemasan berlebih terhadap gadis kesayangannya itu. Dalam pengertiannya, sosok Marionette yang tanpa pakaian hangat itu mirip anak kucing malang yang kedinginan. Harus ditolong! Sir William masih berlari sekuat tenaga. Ia hampir-hampir tidak mempercayai deduksi gilanya. Tetapi bagaimana jika itu benar? Oh, Lady Anne! Lady Anne! Teriak Sir William dalam hati. Dari jangkauan mata Sang Bangsawan Muda itu, saat ini kekasihnya tampak sedang memeluk erat adiknya. Tidak ada yang aneh. Tidak, sampai Sir William McWhalen berada di dekat keduanya. Salju yang mulai berhenti menjelaskan segalanya… Pada sebuah pelukan itu, darah merah, lebih merah dari rambut Marionette, mengalir di payung berenda berwarna burgundi. Langit yang mulai bersih, mengijinkan cahaya bulan menjelaskan warna pakaian Marionette yang senada dengan warna payungnya. Kilau pantul sinar bulan muncul dari mata pisau yang menembus leher Sang Lady. Mata pisau berasal dari ujung payung Marionette. “Lady Anne!” Butir-butir merah darah yang terserap salju, menyelamatkan salju dari warna putih yang membosankan. Suara Sir William yang memanggil kekasihnya –yang tak kan bisa kembali lagi itu- semakin getir. “Demi Jove! Mengapa kau lakukan ini?” Itu teriakan penuh kemurkaan pertama dalam hidup seorang William McWhalen. Murka. Putus asa. Marionette diam. Gadis yang saat ini auranya sangat mengerikan itu masih berdiri di tempatnya, di atas salju merah, dengan kepala tertunduk. Angin dingin membelai rambutnya yang merah mengkilat. Marionette perlahan mengangkat wajahnya yang berlumur ciprat darah Lady Anne. Terang bulan lembut menembus matanya. Kemilau dari kedua mata emeraldnya itu tidak menutupi pandangan kosong yang ada. "Bukan mauku…” katanya lirih. Sang Duke tersujud lemas ketika gadis serba burgundy itu mengangkat lengannya yang mungil. Apa lagi ini? Pikirnya. Benang-benang sangat tipis, nyaris kasat mata -jika tak terpantul cahaya bulan, mengikat lengan dengan kulit putih pucat itu. Ternyata tak hanya di situ saja. Benang itu ternyata juga mengikat tubuh, kaki, dan kepala si gadis cilik Mata Sir William yang mengikuti alur benang itu terbelalak. Mentalnya tak siap untuk menerima kengerian yang bertubi-tubi. Pada dahan-dahan tinggi pepohonan di belakang Marionette, sebuah sosok menggenggam kayu kendali, tempat ujung benang-benang tadi. Seekor burung hantu dengan topi bangsawan dan Monocle itu memperhatikan dengan pandangan yang dinginnya lebih menusuk dari badai salju mana pun. Rupanya, itu sosok lain Sang Duke.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun