Mohon tunggu...
Habil Eby Sumarwa
Habil Eby Sumarwa Mohon Tunggu... -

jika tubuhku mati dari kodrat ngilu seraya ku hempas tulang tuk terus berjalan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tangkai

31 Desember 2011   15:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:31 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tangkai.....
Derap gulita membungkus tubuhku, tak terlihat sebatang dudukku, sesekali ku temukan lewat lemparan batu, itupun yang dicari bukan diriku, tapi adakah burung yang tidur di tubuhku? Kadang tungkaiku berdarah merah, hingga aku gagal meniup udara di tubuhmu, barangkali tanggal dan musim yang mempertemukan suaraku pada usia dibibirmu¬_
Aku cemburu pada tungkai di dekat-dekat lorong dan halaman rumahmu, yang seringkali liar mencumbui dan mencuri targetku, tuk membentuk kuping dan bulu alis, sebab ada mata menyala yang bergantung di pundaknya, mencari mangsa saat kedinginan, terkadang menipuku sendiri dari kejauhan, kau pun tak berkutik mencegatnya_
Apa jenis kelaminmu? Sangat rahasia sekali kau menyimpannya, kenapa kau tak memberitahu? Pun akhirnya kamu menjadi mayat dan hangus di makan nafsunya_
Tapi aku di gembirakan oleh manusia yang takut pada bulan saat berlarian mencari celah terang, dia sembunyi di balik pahaku atau di semak-semak tempat jangkrik berdering, setelah melahap melidas burung yang bergantung di halaman, baginya sebal pada mata yang menyala, sebab musimnya berguguran di balik cahaya sinar itu_
Aku rindu lambaian tanganmu yang membekas di imaji saat senja menyusup kau pun sedikit menyusut, remang-remang kulihat mengusung mimpi dan hari, sedang suaraku tak membelai rambutmu sama sekali, barangkali nun yang jauh tak setangkai dengan usiaku atau rima di dibibirmu_
Di balik kecemburuanku, kadang tak henti-hentinya mengamuk pada semua yang mereka lihat geliat di mata, entah itu buih apa, terkepal tubuhku tertekan nafasku, pada saat itu aku menghayati tubuhmu yang sering melekuk sendiri tanpa di suruh, menyanyi rima yang basah dan bergoyang memutar senyuman yang berpusar di bibirmu, muara durjana menggeming mengeringkan luka yang terpahat tepat di ulu dadaku_ sedangku terpa puing rindu, kadang aku gugur sebelum mengecup bibirmu, sepertinya itu kegagalan yang paling menyesalku se bidang tanah gerontang yang retak di lempeng sejarahku, asbab gunung yang membusung di dadamu belum kudaki_
Langkahan kaki-kaki tanah mencermin cahaya di betis yang luka bersimbah darah, di sana ku menerawang melihat isi rok minimu yang terjahit ketakutan, menyulam traumatik, hingga bercucur di keningku darah yang mengalir dari pecahan mutiaramu.
29-12-11
Teramat terang di kaki pulaumu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun