Mohon tunggu...
Moh Syihabuddin
Moh Syihabuddin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Pemikiran Islam dan Pemerhati Sosial Budaya

Peminat keilmuan dan gerakan literasi, peduli terhadap permasalahan sosial dan tradisi keislaman masyarakat Islam Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perang Pasca-Covid-19 Harus Dicegah, Indonesia Perlu Ambil Langkah

8 Mei 2020   11:21 Diperbarui: 8 Mei 2020   11:29 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

SIPRI (Stockholm Internasional Peace Institute), sebuah lembaga yang memusatkan perhatian pada isu-isu pertahanan, konflik, dan kontrol senjata mengungkapkan adanya peningkatan pembelian senjata secara global.

Lima pembelanja terbesar pada tahun 2019---sekitar 62 persen dari anggaran total belanja militer dunia---ialah Amerika Serikat, Cina, India, Rusia dan Arab Saudi (Kompas, 3 Mei 2020).

62 persen dari anggaran total belanja militer hanya dikuasai oleh lima negaranya, yang sisanya 38 persen otomatis merupakan anggaran belanja militer negara-negara lainnya di seluruh dunia.

Tidak kalah dengan negara-negara itu, Jerman sebagai negara terkuat di Uni Eropa juga meningkatkan anggarannya menjadi 49,3 milyar US dollar pada tahun 2019. Peningkatan ini juga diikuti oleh Bulgaria, Perancis dan negara-negara lainnya anggota NATO, walaupun nilainya tidak sama.

Mengapa ini terjadi? Karena konflik, perlombaan senjata, dan pertahanan diri.

Hal ini memperjelas bahwa percikan-percikan perang dingin yang sudah selesai pada 1980-an lalu telah membakar sedikit demi sedikit ketakutan dan kekhawatiran negara-negara besar terhadap tetangganya yang semakin "menakutkan" dewasa ini.

Selesainya perang dingin tidak menyurutkan ambisi gumedeh Amerika Serikat dan Rusia-Cina untuk membangun perdamaian, malah semakin meningkatkan bentuk perang baru atas nama "pertahanan diri".

Memperkuat "pertahanan diri" dengan cara meningkatkan belanja militer menegaskan prinsip peperangan mereka yang bertolak pada "pertahanan terbaik adalah menyerang", yang artinya mereka sewaktu-waktu akan melakukan penyerangan kepada pihak lain atas dasar "mempertahankan diri" dan menjaga kedaulatan negaranya.

Atas nama kedaulatan mereka akan saling serang dengan senjatanya dan memanfaatkan pengaruhnya untuk meningkatkan perdagangan dan perekonomian.  

Amerika Serikat sebagai kekuatan adi daya saat ini tentu tidak mau kalah bersaing dengan Cina---sebagai kekuatan baru milenium ini yang bersama satu barisan bersama Rusia. Begitu pula sebaliknya, Cina dan Rusia tetap ingin menjadi pemain utama dalam peta politik dunia dengan cara meningkatkan anggaran militernya.

Sebagai tiga negara yang besar dan sedang tumbuh semakin kuat di dunia saat ini (ekonomi dan militer) mereka terus memodernisasi pertahanan diri dengan beragam alutista canggih yang bisa membawa hulu ledak nuklir.

Melihat pertumbuhan dan kekuatan militer Rusia yang terus tumbuh membuat negara-negara Uni Eropa ketakutan dan memerlukan sebuah pertahanan diri yang mandiri tanpa terikat dengan Amerika Serikat.

Pada akhir tahun 2019 Presiden Perancis dan pejabat tinggi di Jerman mengusulkan agar Eropa mempunyai pertahanan sendiri yang bebas dari ikatan NATO. Walaupun sejauh ini belum ada persetujuan dari pihak Amerika Serikat.

Hal itu dilakukan oleh Perancis-Jerman dalam rangka merespon sikap Rusia yang semakin menakutkan dengan peningkatan senjatanya bagi eksistensi komunitas Eropa. Apalagi jika menyangkut dendam Rusia terhadap Ukraina pada 2014 yang bergabung dengan Uni Eropa, tentu masih membekas "rasa sakitnya" dan menjadi duri dalam daging yang akan membengkak dan bisa bergeser pada konflik bersenjata diantara keduanya.

Baik Rusia maupun Uni Eropa (yang dipimpin Jerman-Perancis) sama-sama melakukan memodernisasi alutistanya dengan hululedak nuklir yang bisa dioperasikan secara efektif dan efesien dalam jangkauan tembak. Salah satunya menembakkan saja maka dendam Perang Dunia II bisa-bisa terulang kembali, yang akan menegaskan sulitnya Eropa-Slavia berdamai dengan Eropa-Germanik. 

Di anak benua India, Pakistan dan India masih bersitegang dan terus melangsungkan "peperangan-gencatan senjata" yang tidak pernah ada perdamaian yang diusulkan. Keduanya mempunyai senjata nuklir yang kapan pun bisa diluncurkan untuk menghancurkan satu sama lainnya. 

Tidak heran jika kemudian India terus meningkatkan anggaran belanja militernya, karena was-wasa terhadap Pakistan yang didukung Cina---dimana Cina juga menjadi ancaman bagi pengaruh India di kawasan Asia Selatan.

Arab Saudi, sebagai pemimpin negara-negara Arab Masyrik yang berhadapan dengan Iran tentu tidak mau kalah dengan pertumbuhan persenjataan global. Negara petro dolar itu juga ingin menancapkan pengaruhnya di kawasan teluk Arab yang terus bergejolak dan tarik ulur dengan kepentingan Iran.

Apalagi kawasan buan sabit, yang membentang dari Iran, Irak dan Suriah sepenuhnya sudah menjadi kawasan yang dikendalikan oleh Iran semakin membuat Arab Saudi naik pitam untuk terus mengembangkan pengaruh militernya di kawasan itu.

Demikian pula dengan Iran. Sebagai negara yang kepentingannya menyebar di kawasan Arab tidak segan-segan untuk meningkatkan belanja militernya guna mengamankan aset-asetnya. Milisi-milisi dukungan Iran menyebar dihampir semua negara Arab Masyrik dan memiliki kekuatan militer yang sulit untuk dilumpuhkan.  

Perseteruan Iran vis a vis Arab Saudi nampak nyata di Yaman yang terus menderita akibat perang yang berkepanjangan. Dukungan militer yang nyata dan bantuan militer yang masif pada kedua belah pihak (yang konflik) di Yaman menjadikan Arab Saudi dan Iran terus melakukan modernisasi kemampuan militernya dan peningkatan alutistanya.

Belum lagi di kawasan Laut Natuna Selatan, yang melibatkan konflik kawasan Cina vis a vis negara-negara Asia tenggara membuat kepentingan Amerika Serikat dan Jepang terus dikembangkan di kawasan itu.

Kendati tidak mempunyai pangkalan militer, namun di negara-negara Asia Tenggara pengaruh Amerika Serikat sangat dibutuhkan untuk menghadapi Cina, termasuk Taiwan yang sangat membutuhkan Amerika Serikat untuk menghindari sistem satu negara-dua sistem yang ditawarkan Cina. Di kawasan ini kapal-kapal Cina dan Amerika Serikat pun sering bersih tegang untuk menjaga "kedaulatannya" masing-masing.

Termasuk di semenanjung korea, Jepang-Amerika Serikat-Korea Selatan seolah sudah mempersiapkan diri menghadapi Korea Utara yang didukung Cina dan Rusia. Kedua belah pihak terus meningkatkan anggaran belanja militernya agar tidak kalah dengan tetangganya, dimana belanja militer ini fokus pada pengembangan nuklir dan senjata penangkisnya.  

Terakhir, konflik di negera-negara Arab yang tidak bisa lepas dari pengaruh Rusia dan Amerika, ditambah beberapa negara yang berada dipihak Amerika Serikat dan Rusia-Cina akan terus memberikan dukungannya pada terjadinya konflik bersenjata yang berkepanjangan. Aliran senjata akan meningkatkan anggaran militer negara yang tak bisa lagi dibendung.

Israel, atas nama pertahanan diri dari negara-negara Arab tetangganya tentu akan "merawat" nuklirnya dan terus melakukan modernisasi alutistanya agar tidak kalah dan tersingkir dari peta dunia.  

Dengan melihat peningkatan anggaran belanja militer dan modernisasi alutista pada negara-negara kaya-besar tersebut peperangan pasca pandemik covid-19 mungkin bisa saja terjadi, lebih ganas, lebih bringas, dan lebih menyengsarakan. Kemiskinan, pengungsian, penderitaan yang dialami oleh warga sipil tentu tak terhindarkan lagi.

Selesainya pagebluk global covid-19 bisa jadi akan melahirkan konflik atau peperangan baru yang lebih nyata. Jika pada masa pandemik covid-19 yang dihadapi adalah virus, dimana kecanggihan peralatan kedokteran sebagai solusi (menghadapinya), maka pasca pandemik yang dihadapi adalah perang senjata nuklir secara nyata yang akan melibatkan peralatan tempur militer yang paling canggih sebagai solusi.

Perdamaian tidak bisa dibentuk dengan senjata. Pengalaman Indonesia menyelesaikan konflik dengan GAM bukan karena kekuatan militer dan kecanggihan senjata. Namun lebih pada pendekatan sosial dengan menekankan pada tradisi-tradisi masyarakat yang sudah lama berkembang.

Memupuk perdamaian tidak bisa diselesaikan dengan nuklir dan modernisasi alutista. Pertahanan diri tidak harus menggunakan senjata canggih dan bertambahnya jumlah pasukan militer yang tersedia. Sebagaimana konsep "pertahanan terbaik adalah menyerang". Akan tetapi perdamaian semestinya dipupuk dengan nilai-nilai luhur masyarakat yang sudah lama berkembang.

Nilai-nilai yang menjunjung tinggi kemanusiaan, toleransi, menghargai perbedaan, multikulturalisme, dan norma-norma agama. Nilai-nilai yang menggabungkan antara (1) norma agama, (2) tradisi masyarakat dan (3) kehidupan bernegara-bangsa merupakan kunci untuk membangun perdamaian dan kesejahteraan masyarakat.   

Adapun negara yang paling sukses memadukan antara nilai-nilai tardisi masyarakat, norma-norma agama dan konsep nation-state adalah Indonesia. Diakui atau tidak, nilai-nilai yang dikembangkan oleh Indonesia inilah yang menjadi kunci keberhasilan NKRI yang tetap utuh, ASEAN yang terus tumbuh dan kawasan Indo-Pasifik yang mulai berkembang.

Dengan keberagaman dan keanekaragaman yang melimpah, mulai dari bahasa, kepercayaan, adat istiadat, tradisi, dan suku bangsa tentu akan memberikan perbedaan pada cara pandang, pemikiran, dan juga kepentingan hidup masing-masing orang.

Namun kekayaan dari keanekaragaman ini justru mampu dikemas oleh Indonesia dalam bingkai persatuan nation-state bernama NKRI dan ASEAN. Apalagi jika gagasan Indo-Pasifik sukses dijalankan maka model ini akan menjadi teladan terbaik tentang kemakmuran kawasan dan peningkatan hubungan regional antar negara.

Kekuatan modalitas dalam merekatkan keaneragaman perbedaan inilah yang bisa digunakan oleh Indonesia di pentas global untuk mengkampanyekan perdamaian. Indonesia harus menegaskan bahwa perdamaian harus dibangun dengan nilai-nilai tradisi, norma agama dan konsep nation-state yang sukses dikembangkan Indonesia sendiri.

Ketika negara-negara maju sedang ramai menganggarkan peningkatan anggaran militer maka sudah seharusnya Indonesia menganggarkan peningkatan anggaran sosial-kebudayaan untuk mengembangkan perdamaian secara global.

Pendidikan perdamaian ala Indonesia harus menjadi kampanye Indonesia di pentas global. Nilai-nilai yang dimiliki Indonesia yang merekatkan perbedaan perlu menjadi bahan-bahan yang sangat berharga untuk mengajari masyarakat global tentang kehidupan dan perdamaian.  

Indonesia tidak perlu "tergiur" dengan kecanggihan senjata dan modernisasi alutista negara-negara maju, karena hal itu bukan menyemai kemakmuran dan keindahan hidup. Justru mereka akan menebar konflik semakin panjang dan tak teruraikan.    

Masyarakat global tidak membutuhkan sanis yang canggih, alih-alih digunakan untuk peperangan dan melanggengkan konflik. Yang dibutuhkan masyarakat global adalah adanya persaudaraan antar bangsa yang tidak memandang perbedaan ras, agama, tradisi, kepercayaan, dan warna kulit. Dan potensi dalam bidang "persaudaraan" ini adalah Indonesia yang paling baik.

Berangkat dari hal itulah peranan Indonesia sangat penting dalam mencegah peperangan yang mungkin terjadi pasca covid-19 nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun