Senja hari di sudut kota berlalu kian cepat.“Heyyy berhenti !”Dua orang berkejar-kejaran diatas trotoar yang sepi.Kota yang tertutupi kabut ini sedang buta sementara.Mata orang-orang tidak dipakai untuk melihat yang seharusnya dilihat.Bahkan kabut yang teramat pekat itu semakin menambah putihnya kian tebal.Mata orang -orang disini tidak bisa melihat apa yang seharusnya dilihat.Orang-orang kelaparan seperti semut tanpa antenna.Banyak berseliweran dimana-mana.Terkapar tiada gairah.
Pemuda bertopi baret itu terus berlari dan melompati apa yang menghalangi jalannya.Tetapi lama-lama orang yang berada di belakangnya itu dapat menyusulnya juga.
“Kau mau melawan ya? hey aku punya senjata,kubilang berhentii !”Pria paruh baya itu mengeluarkan pistolnya,dan berlari semakin kencang.
Namanya Bandar.Lelaki pengangguran yang tidak percaya dengan siapa saja.Hidupnya banyak mengalami kegagalan.Dicampakan orang,ditipu mentah-mentah,di rampok.Sepertinya semua kegetiran dalam kehidupan ada padanya.Hingga matanya berubah tidak seperti mata orang pada umumnya.Matanya selalu menatap lebih dalam,mata orang yang dilihatnya.Dengan begitu dia bisa melihat hal-hal yang terlepas dari pengamatan orang biasa.
Bandar berlari dan berlari.Melewati pertokoan yang sepi.Tidak ada yang menyapa disana.orang-orang sudah pergi.Senja dikota ini seperti malam yang larut.Rembulanpun jarang singgah di langit kota ini.Tidak ada mata yang berdecak kagum akan keindahan bulan lagi.
“Doooor !!!”Suara tembakan dilepaskan ke udara oleh orang itu.
Bandar menoleh kebelakang,lalu mempercepat lajunya.Karena teramat takut ia tidak melihat ada sepeda melaju dari arah kanan.
“Bruakkk!!!!!”Sepeda itu menabrak badan yang menggigil ketakutan itu. Bandarpun terjerembab di aspal yang dingin.Lelaki itu memasukan pistolnya kembali dan membantu Bandar berdiri.
“Siapa namamu ?”
“Bandar tuan.Bisakah aku segera pulang?”Bandar terus menatap mata orang itu dengan amat dalam. Semakin lama ketakutannya sedikit hilang.
“mmmau apa kau.”
“Coba kau ulangi.”
“Apanya ?”
“Kaubilang orang-orang itu salah dalam melihat ?”
“Benar.”
“Apa kau yakin ?”
“Mata tidak pernah bohong tuan.”
“Apa yang kau lihat dari mata orang lain?“
“Emm tidak ada tuan.”Bandar melangkah mundur.Kakinya yang gemetar membuat badannya yang kurus sedikit limbung.
“Hei anda mau kemana?Sebaiknya kita makan dulu.Aku tahu kau butuh pekerjaan”
“tttapiii..aku tidakk.”
“Sudahlah ikut saja,hari sudah mau malam.Kau bisa menginap nanti di rumahku. Maaf tembakan tadi hanya penggertak saja.
Bandar termangu beberapa detik.Kemudian berdiri dan berlalu dengan pria itu.Sepertinya dia harus mulai percaya dengan kawan barunya yang tak pernah sedikitpun melepas kacamata hitamnya yang amat legam.
“Namaku Bias.“Pria itu menyebutkan namanya.Bandar tercengang matanya menjadi kikuk seperti tak pernah melihat terang.Bias Brodero seorang yang sering digadung-gadungkan masyarakat kota.Namanya sudah banyak terpampang di koran,teramat banyak dilihat oleh mata-mata tanpa harapan.”Dia adalah orang baik.”Begitu teman-teman Bandar menyebutnya.Dari loper koran sampai juru masak kedai roti turut meng agung-agungkan namanya.Jadi sungguh beruntung ia telah bertemu dengan pria itu.
“Kau kah orang itu?sang penyelamat itu ?”
“Belum saatnya Bandar.Aku belum menemukan mata yang cocok.Kota ini perlu mata yang bisa menangis.Bukan mata yang sering tertawa,hingga lupa akan akan keadaan.Lupa akan siapa dirinya.Aku perlu mata itu.Kalau bisa sekarang juga.Aku butuh bantuanmu Bandar.“Bias tersenyum.Namun senyumnya hanya sebentar,hatinya tetap kalut.
“Kau minta aku mencari mata itu?Kurasa kau sia-sia.Sudah ribuan mata kulihat,tapi ternyata sama saja.Kecuali beberapa…”Bandar tidak melanjutkan perkataannya.Otaknya berpikir keras.Mulutnya ingin mengatakan sesuatu tetapi malu-malu.
Bandar mengeluarkan secarik kertas dari saku kemejanya yang kotor.Dikibas-kibaskannya kertas yang mungkin basah terkena keringatnya.”Ini adalah catatanku tentang mata yang tidak pernah aku temui di kota ini.Jumlahnya ada tiga,mungkin saja kau berminat salah-satunya.”
“Coba kau terangkan.”Mereka berdua lalu duduk di bangku pinggir jalan.
Bandar terpejam sejenak,mencoba mengingat kejadian itu.Hembusan angin yang sopan seakan membantu menggali ingatannya.
“Aku bertemu dengan gadis itu tepat ketika jam berdenting enam kali di depan halte yang telah mati.Tempat itu dijadikan tempat tinggal bagi mereka-mereka yang sekarat.Aku tidak yakin bau pewangi paling harumpun bisa menghilangkan bau yang busuk disana.Matanya yang sedikit pucat,namun tidak terlalu pasi.Seperti daun yang jatuh di tanah salju.Ada beribu harapan dari mata indahnya.Kepeduliannya terhadap orang-orang membuatnya sedikit lupa.Bahwa sesungguhnya ia sendiri harus terus hidup.Walaupun lebih baik mati meninggalkan negeri sakit ini dengan bahagia.Setidaknya ia bisa merubah perspektif orang-orang sepertiku yang tidak pernah percaya siapa-siapa.
“Lalu apa yang terjadi dengannya ?”Bias membuka kacamatanya,seraya menatap Bandar.
“Tugasnya sudah selesai.Mungkin tuhan mengirim orang lain untuk menggantikannya.”Ia mati ditempat itu.Tertabrak truk.”
“Tertabrak ?Bagaimana bisa?seperti orang buta saja !”
“Dia memang tidak bisa melihat tuan !”
“Maaf,aku tidak bermaksud.”Suasana sejenak berubah menjadi hening.Hanya angin dan daun yang sedari tadi sibuk menari-nari dengan lembut.
“Menjadi buta bukannya tidak bisa melihat kan?Dia melihat dengan perasaanya.Hatinya selalu menunjukan jalan yang mungkin lebih mulus dari jalanan yang dilihat dari mata biasa.Sayang sekali dia sudah pergi.Tapi kau tidak usah bersedih.Masih ada orang kedua yang mungkin bisa membantumu.
“Siapa orangnya?”
“Mungkin tidak banyak yang tahu tentang dia.Mata yang belum pernah aku lihat sebelumnya.Tatapannya yang tajam lebih seram dari mata elang sekalipun.Ia mengabdi untuk negeri ini dengan jiwanya.”
“Apa ada orang seperti itu,”potong Bias.
“Dia seorang tentara tuan.Mata yang menyaksikan banyak pertumpahan darah di tanah lapang yang renggang.Ketika beribu-ribu pleton manusia tidur selamanya tanpa nafas.Mata yang terus menegang kala itu sampai saat ini tidak pernah tenang oleh kegembiraan.”
“Lalu,dimana dia sekarang ?”
“aku baru kemarin menjenguknya.Ia terbaring tak berdaya di rumah sakit.”
“Apakah ia terluka saat peperangan itu ?seberapa parah lukanya ?”
“Bukan karena perang itu ia mendekam di rumah sakit.Negeri ini sudah merdeka sejak lima puluh tahun lalu.Ia sekarang sudah menjadi orang tua renta yang terlupakan.Luka fisik baginya bukan apa-apa tuan.Tapi luka batin yang selalu terngiang-ngiang dimatanya.Pengorbanannya untuk negeri ini seakan sia-sia.Anak cucunya kita-kita ini sekarang berlaku seenaknya saja.Banyak orang yang tidak peduli dengan sejarah.Padahal dengan sejarah kita bisa tau dari mana kita berasal.Bagaimana kita harus bersikap.Bagaimana orang-orang dahulu melihat desing-desing peluru secepat kilat menembus kulit-kulit mereka.Kita yang tidak tahu apa-apa inipun bebas melakukan apa saja tanpa mengenal balas budi.Sekarang lelaki itu sudah tidak punya tenaga lagi.Tetapi matanya yang berani masih tetap perkasa.Aku bisa melihatnya.”
“Jadi tentara itu sudah tua sekarang?”
“Benar tuan,mungkin sekarang ia sudah tiada.Terakhir kali bertemu ia berkata kepadaku bahwa akan ada saatnya manusia yang melihat apa yang seharusnya ia lihat.Orang yang menggunakan mata dengan benar.Mungkin orang itu yang akan menghentikan semua krisis kepercayaan di negeri ini.”
“Tapi dimana aku harus menemukan mata itu Bandar?harapan ke dua sudah tidak ada bukan ?lalu apa lagi?”
“Manusia harusnya terus berharap toh.Harapan itu tak akan pernah putus.Kejadian tersedih sekalipun.Ketika manusia terus berharap maka alam akan senantiasa membantunya bangun.”
“Baiklah.Sepertinya kita beruntung.Harapanku masih cukup banyak kali ini “Bias sedikit tersenyum.
“Kalau begitu akan kuberitahu orang ketiga.Mata yang setiap orang pasti ingin memilikinya.Binarnya membuat semangat orang di sekitarnya menjadi tumbuh.Mata yang didalamnya tidak ada cerita-cerita menyedihkan.Matanya penuh sekali dengan gairah membuncah.Dia satu-satunya orang yang berdiri ketika yang lain-lainnya terlungkup diinjak-injak kepasrahan.Ia yang selalu bergerak walau cobaan menjepit kakinya ketika ia melangkah.Aku baru saja mengunjunginya tadi.”
“Itulah mata yang aku cari Bandar,temui aku dengannya sekarang juga. “
“Tapi aku tidak tahu dia dimana sekarang,”ucap Bandar.
“Barusan kau bilang telah bertemu dengannya ?”Air muka Bias kembali berombak.Kerutan di dahinya seperti perahu yang karam di tengah badai.
“Dia berpamitan padaku tadi.Negara ini masih perlu waktu untuk maju ujarnya.Dia ingin melihat lebih jauh tentang Negara ini.Ia ingin melihat seperti apa kota-kota yang lain.yang tersembunyi dibalik bukit.Mengajarkan ilmu tentang cara mempergunakan mata dengan benar.Agar tidak ada lagi mata-mata yang kelam kelabu.Lalu suatu saat ia akan kembali lagi membawa pelajaran-pelajaran yang ia dapati selama perjalanan jauhnya.”
“tunggu dulu Bandar.Kenapa dia tidak mengabdi untuk negeri ini?Bisa toh dia menjadi pemimpin bersih di tengah para perampok takhta yang merajalela di luar sana.Negeri ini membutuhkannya Bandar.”
“Begini tuan.Satu mata yang paling suci sekalipun tidak akan bisa seorang diri untuk memajukan negeri ini.Mungkin butuh ribuan pasang mata yang paling gemerlap.Mata orang-orang yang melihat apa yang seharusnya dilihat.”
“Jadi sepertinya tidak ada harapan lagi untukku mengembalikan Negeri ini menjadi lebih baik.Kecuali memenggal kepala para pemimpin curang itu satu demi satu!”Bias menggenakan kacamatanya lagi.Bukan sebagai tanda kalu ia ingin bergegas pergi.Tapi air matanya yang semakin menggenang itu membuat ia sedikit malu.
“Harapan tidak akan pernah hilang tuan,selagi kita masih hidup.“gumam Bandar.
Bias membalikan badannya.Sepertinya belum saatnya ia menjadi pemimpin di kota itu tanpa penasihat yang mempunyai mata sesuai harapannya.Aspal jalan itu seperti menyuruhnya untuk cepat berlalu saja karena usahanya yang sia-sia.Tapi belum sampai lima langkah berjalan.Ia berbalik badan dan berlari kecil menghampiri Bandar yang masih termenung.
“Tapi tunggu dulu.sepertinya kau kurang menyebutkan satu nama lagi kan.Apa kau lupa dengan orang itu Bandar ?”
“Siapakah ia tuan.Hanya mereka saja yang aku tahu,tidak ada yang lainnya ?”Bandar terdiam sejenak.Ia coba mengingat-ingat lagi.Sesekali diliriknya kertas catatanya yang mulai kering.Kemudian Bias berdiri dan memegang bahu Bandar dengan amat keras.Pegangan yang teramat keras itu seakan takut bahwa orang yang ada di depannya akan hilang.
“Kau orangnya Bandar.Kau bukan saja hanya bisa melihat lebih dalam setiap mata orang-orang itu.Tapi kau juga mempunyai mata yang begitu mulia.Kau memperhatikan kehidupan orang-orang.Kau mempunyai mata yang tidak hanya mengamati hal-hal yang menyenangkan saja.Tapi kau melihat keseluruhan .Kau adalah orang yang yang masih punya rasa peduli.Kepedulian yang kukira sudah punah itu ternyata masih ada Bandar.Kau harus yakin itu.”
“Tapi aku hanya orang biasa,tidak ada harganya.Mataku ini akan semakin pucat di usap kenyataan.”
“Tidak Bandar.Aku yakin itu diantara beribu-ribu orang yang kutemui ,mata mereka tetap dingin,mungkin lebih dingin dari laut sekalipun.Aku membutuhkanmu Bandar”
Bias kembali membuka kacamata hitamnya.Senyumnya mulai timbul menyapu genangan air mata yang berkumpul.Lalu mereka berdua berjalan beriringan di hari yang mulai gelap itu.Sesekali perut mereka bunyi karena belum diisi.Tapi langkah yang lapar itu tidak membuatnya terhenti.Perut tentu dapat diiisi dengan makanan.Tapi langkah akan terus menjejak walaupun ia hanya menjilat pasir dan kerikil.Setidaknya mereka terus bergerak.Hingga saatnya mata-mata yang pasi di negeri itu kembali berwarna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H