Kaco R' ... seperti itulah orang menyebut namanya, sebuah identitas  unik yang Ia sendiri tak pernah paham, kapan sebutan itu bermula, siapa yang mengenalkannya, dan apa arti "R" setelah kata "Kaco", kadang namanya menjadi perbincangan di tengah antrian para penikmat bantuan sosial pemerintah. Ia sendiri tak ambil pusing.Â
Dengan pakaian yang sangat jauh dari kata "pantas", duduk termangu memandangi aktivitas orang-orang disekitarnya yang tenggelam dalam kesibukan. Pergerakannya ibarat debu yang dipermainkan pusaran angin, langkahnya bagai botol-botol plastik yang tergerak oleh arus samudra yang tak menentu, silih berganti.Â
Sibuk ... tak ada yang memperhatikannya, rokok terselip di antara jemari terbakar tersisa sepertiga bagian, tak sadar bahwa hanya satu kali isapan saja yang telah dia lakukan, rokok itu terbakar dengan sendirinya, menyisahkan abu, terjatuh bersama dengan hiruk pikuk manusia dan berjuta tanya yang tak pernah ia temukan jabawannya.Â
Sobekan  koran lokal yang terbit tiga hari lalu tak sengaja ia pungut, masih tersisa halaman 1 utuh. Berita tentang para pejabat yang pamer harta hingga millyaran rupiah,  penjajakan koalisi partai politik, penganiayaan anak salah satu ormas, kebakaran di  obyek vital nasional, foto para pejabat tinggi berlatar sawah dan petani tapi kebijakannya tetap impor bahan pangan, serta saling lembar tanggung jawab antar pejabat akibat berbagai persoalan yang muncul masih menjadi berita menarik yang diwartakan.Â
Kaco R' membuang puntung rokok yang hampir membakar jari telunjuknya, membayangkan angka milyaran rupiah harta para petinggi negeri, tapi otaknya tak mampu mencerna berapa jumlah angka nol yang ada di belakang angka satu dari satu milyar rupiah. Menghitung-hitung berapa lembaran uang seribu, dua ribu, lima ribu, dan sepuluh ribuan agar mencapai angka milyaran rupiah. Tapi sekali lagi, otaknya tumpul, pikirannya terhenti, tak mampu menjangkau itu semua.Â
"puluhan milyar" Ia mengeja dalam hati sambil memainkan jari jemarinya, mengira-ngira jumlah nol yang dibutuhkan, tapi sekali lagi, jari-jarinya pun tak cukup, jika ditambah dengan puntung rokok yang Ia habiskan pagi ini, itu pun masih kurang. Dalam hitungan beberapa tahun saja, harta para pejabat negeri ini bisa meningkat berkali-kali lipat. "Bagaimana cara mendapatkannya?" Panas dingin Ia memikirkannya, kabel-kabel di kepalanya tak cukup kuat untuk melamunkan harta dan gaya hidup mewah seperti yang tergambar di sobekan koran itu. Bisa-bisa Ia korslet lalu jatuh tak sistematis ... pingsang ala orang pinggiran.
Terkadang Kaco R' juga berangan-angan akan kehidupan yang mewah, tapi tak sampai pada gelimang harta yang jumlahnya  milyaran dengan kepemilikan rumah, mobil, emas, dan tanah yang tak terhingga, bisa-bisa mati mendadak jika mencoba memikirkan semacam itu. Baginya, kemewahan yang diangankan hanyalah sebatas pada "bisa merokok dan minum kopi tanpa ngutang". Itu pun baginya merupakan hal yang mustahil.Â
Digulungnya sobekan koran itu, Kaco R' melangkah, sepi di antara hiruk-pikuk manusia, terhenti dipertigaan jalan, memandangi baliho yang terpasang di depannya. Gambar seorang pejabat publik yang lagi menebar janji, memorinya kembali ke masa beberapa tahun silam "deja vu" Kaco R' mengeja dalam hati, ia berlalu sambil mengucapkan kata sedemian pelan, yang ia sendiri hampir tidak mendengarnya "Ah .... dia lagi, memangnya sekarang sudah tambah baik?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H