Untuk memberikan citra pengadilan yang sebenarnya saja sudah susah. Apalagi, kini muncul berbagai kasus di lingkungan lembaga peradilan yang lebih menggiring asumsi buruk masyarakat tentang lembaga peradilan.Â
Tak usah ditutup-tutupi lagi, sekarang sebagian orang sudah sangsi terhadap kewibawaan pengadilan. Mereka bertanya, secara sinis, bagaimana pengadilan dapat kita harapkan jika mereka yang terlibat di dalamnya sudah masuk angin, terkena kuman suap, gratifikasi dan sebagainya.Â
Begitu pula ada yang sinis, bagaimana peradilan dapat bebas mandiri kalau gencarnya intervensi yang sulit dibendung dari tangan-tangan kekuasaan atau para mafia.
Buntutnya, semua itu bermuara pada kesimpulan bahwa wajah lembaga peradilan kita memang sedang babak belur. Jelas, suasana itulah yang memprihatinkan kita yang berimbas bagi kemunduran pengembangan penegakan hukum kita. Sebenarnya, perkembangan lembaga peradilan sepertinya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat kita sendiri.Â
Lembaga peradilan merupakan cermin dari masyarakat itu sendiri. Wajah lembaga peradilan (yang dianggap) buruk (oleh sebagian masyarakat) tidak lain adalah wakil dari masyarakatnya sendiri. Apa yang terjadi didalam gelanggang lembaga peradilan kita tidak lain merupakan pantulan dari apa yang terjadi pada masyarakat kita.Â
Tidak sedikit kita temui para masyarakat pencari keadilan yang "memaksa" para advokat untuk melakukan praktik-praktik kotor demi kemenangan, juga tidak sedikit mereka mereduksi kewenangan hakim dengan mencari celah gratifikasi demi mendapatkan kepuasan terkait putusan perkara.
Advokat, Jaksa, Hakim dan semua pihak yang berkecimpung dalam dunia peradilan adalah bagian dari warga masyarakat yang tidak mungkin terlepas dari pengaruh perkembangan tata nilai di masyarakatnya. Segelintir orang barangkali mampu bertahan dari terobosan lingkungannya. Tapi, umumnya, mereka adalah wakil dari masyarakat itu sendiri.Â
Dengan demikian, tidaklah adil mengukur lembaga peradilan terlepas dari nilai-nilai yang tengah terjadi di masyarakatnya. Dan, bila kita memakai standar yang sedang terjadi di masyarakat kita, sebetulnya dunia peradilan kita akan memiliki wajah yang berlainan dengan wajah yang terkesan selama ini.
 Kesadaran diatas membawa kita ke kesimpulan, bahwa kita tidak mungkin membenahi lembaga peradilan kita tanpa juga membenahi mental masyarakat kita sendiri. Kita tidak mungkin mengubah wajah peradilan kita tanpa juga mengubah wajah masyarakat kita sendiri.Â
Hanya dengan mengubah tata nilai yang ada pada masyarakat kita, lembaga peradilan dapat diubah menjadi lebih baik dan kembali berwibawa, sebab sekali lagi wibawa itu bukan "perkara Undang-undang" saja tapi juga "perkara perilaku".Â
Dengan demikian, ada semacam tugas bagi para "penghuni" lembaga peradilan untuk membuktikan melalui perilakunya bahwa mereka memang bertindak merdeka dari pengaruh kekuatan dan kekuasaan serta godaan yang menggiurkan dari luar.Â