Mohon tunggu...
Ferley Bonifasius Kaparang
Ferley Bonifasius Kaparang Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara Publik

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Universitas Samratulangi Manado

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lagu Lama Kaset Baru

6 Januari 2018   15:22 Diperbarui: 6 Januari 2018   15:28 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengawali tahun 2018 ini, saya membaca press release resmi Komisi Yudisial RI yang di-share oleh seorang kawan anggota Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Sulawesi Utara di media sosial. Saripati yang saya dapat dari siaran pers tersebut adalah praktik suap dan isu jual beli perkara di pengadilan masih mendominasi sehingga dikategorikan sebagai masalah yang serius. 

Apa pasal, menurut data mereka sepanjang tahun 2017 marak terjadi operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap aparatur pengadilan, termasuk hakim. 

Dari total 49 sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang telah digelar dan dilaksanakan oleh Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) sejak tahun 2009 sampai 2017 tercatat praktik suap dan isu jual beli perkara selalu menghiasi sidang MKH setiap tahunnya.

 Sidang MKH merupakan forum pembelaan diri bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dinyatakan terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian. 

Hal tersebut menurut saya adalah langkah maju penegakan hukum dalam meminimalisir praktik-praktik penyimpangan hukum yang sangat mempengaruhi sistem edukasi hukum di masyarakat kita. 

Sejatinya, kewibawaan adalah masalah persepsi atau pandangan dan penerimaan orang terhadap sesuatu, dalam hal ini persepsi mengenai lembaga peradilan kita. Dengan demikian, wibawa tidak dibentuk secara sepihak. Seribu kali lembaga peradilan kita mengatakan bahwa dirinya berwibawa, tapi bila masyarakat tidak menerima itu maka kewibawaan juga tidak akan lahir.          

Sebelum mencuat kembali berbagai peristiwa hukum yang membuat wajah pengadilan kita babak belur, sebetulnya sikap masyarakat luas terhadap institusi ini sudah mendua. 

Di satu sisi, masyarakat menilai pengadilan merupakan "benteng terakhir keadilan", oleh karena pengadilan harus dihormati, dijunjung tinggi, dan keputusannya dipatuhi. Pengadilan dalam hal ini, dianggap sebagai lembaga pemutus perkara yang paring arif, dan keputusannya mencerminkan "rasa keadilan" masyarakat. 

Singkatnya, kewibawaan pengadilan harus dijaga dan ditegakkan. Tapi, di lain pihak, secara tidak sadar ada pula anggapan bahwa di masyarakat pengadilan merupakan lembaga yang "angker", penuh liku-liku, dingin, dan bahkan menyiratkan ketakutan bagi masyarakat yang buta hukum. 

Pada sisi tersebut, masyarakat cenderung menghindari pengadilan. "kalau bisa tidak usah ke pengadilan, kami selesaikan saja secara kekeluargaan", merupakan ungkapan sehari-hari yang sering terdengar di masyarakat.

Padahal, seharusnya kalau konsekuen dengan sisi pertama itu, berperkara di pengadilan belum tentu buruk. Sebab, di pengadilan nanti akan dibuktikan bersalah atau tidak. Tapi, apa boleh buat, sekarang ini ada kesan kalau menjadi terdakwa kemungkinan besar "pasti salah" ataupun bila berhadapan dengan lawan berduit pasti kalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun