Mohon tunggu...
Kureeji Chocoberry
Kureeji Chocoberry Mohon Tunggu... Guru - Tutor

Senang menulis. Domisili di Bandung. Senang beropini atas berbagai macam peristiwa sosial di dalam masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Pahlawan dari Dimensi Dunia Maya

13 Desember 2016   10:44 Diperbarui: 13 Desember 2016   11:01 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika selintas kita melihat judul dari artikel yang saya buat, mungkin pembaca bertanya-tanya seperti saya membedakan dunia maya dengan dunia dimana kita hidup secara nyata. Ya, memang. Saya membedakan hal ini karena, dunia maya adalah “dimensi lain” dari dunia nyata yang kini sedang kita pijak.

Dimensi ini membuat kita dapat dengan mudahnya “berpindah ke tempat lain”, berbicara dengan orang yang sekalipun memang tidak kita kenal dan sangat kaya akan informasi serta mempermudah komunikasi sekalipun jaraknya sangat jauh. Dunia maya merupakan dampak dari globalisasi, yang pada awalnya hanya di rasakan di kota-kota besar saja namun telah mulai merambah juga ke pelosok daerah khususnya di Indonesia. Kehidupan manusia yang kini sangat tidak bisa dipisahkan lagi dari kegiatan online yang memunculkan berbagai macam pendapat dan anggapan tentang baik dan buruknya dunia maya. Sebagian orang juga setuju bahwa dunia maya membuat suatu realita bahwa dampaknya adalah berupa suatu popularitas baik barang maupun manusia itu sendiri. 

Namun tentu saja dari sekian banyak manfaat selalu ada saja dampak negatif dari hal ini. Dimana diantaranya adalah privasi kita sebagai manusia menjadi berkurang terjamin akibat segala kegiatan dari mulai bangun tidur hingga menjelang tidur selalu kita beberkan ke media, marak adanya cyber crime yang menimbulkan banyak masalah serta kekacauan (seperti ancaman bom, social-bullying, penipuan, dll), terganggunya masalah kesehatan  (insomnia, kerusakan pada mata, dll) serta membuat kita tidak produktif di karenakan setiap kita hendak melakukan kegiatan sehari-hari atau bekerja secara otomatis kita selalu memegang smartphone untuk mengecek berita dan masalah apa yang sedang up to date di media.

Salah satu produk dunia maya adalah jejaring sosial. Melalui jejaring sosial, masyarakat mulai gemar untuk melakukan promo-promo untuk menjangkau lokasi terdekat hingga terjauh sekalipun. Berbagai macam online shop yang menjual produk dari produk makanan, kosmetik, barang-barang hingga produk-produk blackmarket pun bermunculan untuk mengadu taring di “kompetisi jual beli”. Dan berbagai macam artis, pejabat maupun orang-orang awam juga ikut-ikutan unjuk gigi agar popular dan lebih di kenal masyarakat luas.

Sekarang adalah era popularitas dimana hakim menghakimi adalah suatu hal yang menjadi suatu fenomena lumrah di masyarakat modern karena seiring perkembangan zaman yang semakin maju. Setiap orang bisa langsung berubah menjadi hakim sekaligus pengacara. Dengan hanya mempergunakan social media sebagai “pengadilan”, segala aspirasi yang ada didalam pikiran mereka, mereka pikir dapat tersampaikan seluruhnya. 

Masyarakat kini dimana adalah pengguna media social, dimana semakin banyak pula nanti bermunculan “pahlawan-pahlawan dunia maya” yang banyak mengartikan nya adalah sosok-sosok yang datang sebagai pahlawan kesiangan atau orang-orang yang sok-sokan benar dan suci. Ini adalah hasil dari sikap individualistis yang menganggap bahwa dia lah satu-satu nya orang yang dapat menyelamatkan suatu kaum (masyarakat) dengan tampilnya mereka di atas “pengadilan” tersebut.

Budaya Screen Capture yang kini sangat menjamur di dalam dunia maya adalah budaya wajib yang di lakukan orang-orang yang tidak memiliki keberanian dalam menghadapi masalah face to face. Percakapan dunia maya, baik chat, video, foto dan suara adalah beberapa alat dari situasi kebobrokan masa kini yang dapat mengakibatkan kehancuran mental dan moral suatu bangsa. Social bullying berada di dalam titik ini, dimana selalu ada “pahlawan-pahlawan” yang siap kapan pun datang untuk mengadu dombakan manusia lainnya. Semakin lunturnya semangat gotong-royong, solidaritas, kepedulian, dan kesetiakawanan sosial sehingga dalam keadaan darurat, misalnya kecelakaan, duka dan permusuhan adalah ladang emas bagi para pencari sensasi untuk menjadi semakin popular. 

Salahsatu perbincangan yang pernah saya lakukan sendiri dengan teman saya, adalah ketika kami sedang berdiskusi santai di suatu forum politik, dimana ada suatu hal yang membuat kami terlihat berdebat di dala forum, padahal nyatanya kami berdua duduk bersebelahan sedang tertawa-tawa dan bercanda gurau. Namun orang lain menganggap kami berdua sedang bertengkar. Ini adalah suatu kenyataan, bahwa “apa yang terlihat, belum tentu terlihat seperti aslinya.”

Ada satu hal sebagai salah satu contoh lain, ada seseorang yang salah mengatakan pelafalan suatu status dalam Bahasa Inggris dan setelah di koreksi oleh teman dunia maya-nya, orang tersebut malah “keukeuh” atau ngotot. Kemudian, dari situ mulai berdatangan “pahlawan-pahlawan cyber” dimana mereka ikut-ikutan menanggapi dan membully orang tersebut. Ditambah pula, ada beberapa pihak tertentu yang iseng untuk melakukan screen capture kemudian di sebar, yang asalnya “masalah yang tidak penting” tersebut ada di dalam suatu status seseorang (privat) lalu kemudian cepat menyebar hingga ke penjuru kota-kota besar.  Seperti api kecil, dimana di siram oleh sosok “Pahlawan-pahlawan” tersebut kemudian menjadi suatu kebakaran.

Suatu hal yang kecil apabila masuk ke dalam dunia maya,  akan menjadi semakin lebih besar. Agar sebaiknya kita berhati-hati dalam menyebarkan informasi dan juga mencampuri urusan oranglain. Lebih baik diam bila tidak berkepentingan daripada merugikan baik moril maupun materiil pihak lain. Karena semakin kita terlalu jauh mencampuri urusan oranglain, di dunia maya masa kini kita akan semakin mudah pula terkena cipratan masalah yang sebenarnya tidak pernah terjadi terhadap diri kita.

Ada beberapa saran yang sebaiknya kita lakukan untuk menghindari labeling “pahlawan cyber” yaitu;

  • Berpikirlah berulang-ulang beserta resiko dampaknya dengan matang sebelum memposting sesuatu di akun social, jangan berkomentar juga ketika kita sedang marah atau kesal.
  • Mencoba untuk lebih selektif dalam memilih teman media social, hal sangat penting demi kelangsungan kehidupan social kita untuk menghindari “orang-orang yang tidak tepat”.
  • Kita harus berpikir rasional bahwa sangat mudah terjadi kesalahpahaman atau salah tanggap ketika kita berkomunikasi di social media. Ketika membuat status postingan untuk diri sendiri, terkadang ada saja oranglain yang tersinggung. Ini akan mudah sekali sebagai api pemicu konflik.
  • Jangan membiarkan diri kita sendiri masuk ke dalam konflik orang lain, berusaha untuk tidak terlibat, jangan respon dan abaikan.
  • Berhenti berjuang menjadi sosok “pahlawan” dan “nabi” yang selalu benar.
  • Jangan pernah mempermalukan oranglain di depan social media (public).
  • Jangan pernah mencari masalah dengan menjadi “bensin” atau provokator.

Jadi, mana yang akan lebih kita percaya, berbicara dan datang langsung ke sumber nya atau lewat hasil rekaman dunia maya?

Terima kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun