Mohon tunggu...
Kureeji Chocoberry
Kureeji Chocoberry Mohon Tunggu... Guru - Tutor

Senang menulis. Domisili di Bandung. Senang beropini atas berbagai macam peristiwa sosial di dalam masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bagaimana Peran Media Indonesia di Tahun 2015 Ini?

21 Oktober 2015   11:44 Diperbarui: 21 Oktober 2015   12:14 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa pekan ini mencuat kasus kabut asap di Riau, dan pemerintah kurang cepat tanggap dalam menghadapi persoalan tersebut. Berbagai cemoohan dan hujatan yang dilancarkan oleh negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia dengan gambar Meme (gambar sindiran) banyak terpampang di media sosial. Taggar #TerimakasihIndonesia pernah menjadi salahsatu Trend Topic di Twitter, mengindikasikan kelambanan pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang terjadi. Selain itu pula tersebar pula meme yang terpampang dalam tulisan yang berisi,"Pak Presiden kalau tak bisa matikan asap, kirimkan kami uang untuk ke dokter. #SaveRiau". Kita mengetahui banyak tentang situasi dan keseharian masyarakat tersebut lewat media jejaringsosial seperti facebook, twitter, path, dan lain sebagainya tentang berita dan informasi yang paling ter-update.

Peran dari media sebagai penyebar segala informasi yang terupdate di masyarakat rasanya menjadi terkubur dalam-dalam. Berbagai macam persepsi dan spekulasi mencuat muncul ke permukaan atas peristiwa dan kejadian yang tengah terjadi. Kita dapat dengan mudah mengetahui berbagai macam informasi dari internet, ketika peran media seperti televisi dirasa tidak lagi berpihak pada masyarakat kecil.

Demonstrasi yang banyak dilakukan oleh ormas, mahasiswa, guru maupun elemen masyarakat lainnya rupanya tidak segencar diberitakan ketika Pemilu tahun lalu. Ini yang mengakibatkan banyak pro dan kontra. Spekulasi dari keberpihakan media terhadap pemerintah dibandingkan masyarakat sangat dirasakan oleh rakyat Indonesia, krisis politik dan ekonomi yang multidimensi ditambah serta mencuatnya konflik SARA telah membuat babak baru yang harus dihadapi oleh pemerintah. Media adalah bagian dari propaganda yang juga menjadi bagian dari kegiatan komunikasi, maka metode, media, karakteristik unsur komunikasi (komunikator, pesan, media, komunikan) dan pola yang digunakan, sama dengan model-model komunikasi lain.

Media massa dapat merubah gaya hidup atau budaya lokal setempat, dengan cara mempengaruhi (persuade) cara berfikir suatu kelompok atau kalangan masyarakat tertentu agar menyukai atau mengikuti suatu hal yang baru atau asing bagi mereka. Pengaruh dari media massa tersebut dapat berdampak positif maupun negatif dan dapat berwujud dalam suatu proses modernisasi ataupun westernisasi.

Menurut McQuail (2000: 102) bahwa,
“the mass media are largely responsible for what we call either mass culture or popular culture, and they have ‘colonized’ other cultural forms in the process” (media massa bertanggung jawab atau mempunyai peran besar terhadap apa yang disebut kebudayaan massa atau budaya populer, dan dalam prosesnya media massa telah ‘menjajah’ bentuk budaya lain)

Dalam media ada berita. Berita sendiri berpengaruh pada masyarakat. Pengaruh itu adalah:
a. Agenda setting adalah pemahaman bahwa berita mempengaruhi agenda publik yang secara rutin diberitakan oleh media massa.
b. Gatekeeping: media bisa menjadi penjaga informasi atau penyaring informasi yang ditujukan kepada masyarakat.
c. Framing terjadi ketika media massa membingkai beberapa isu yang ditonjolkan oleh media kepada masyarakat. Dengan berapa fenomena di atas, terdapat beberapa kontroversi yang menyatakan bahwa media massa pada dasarnya bias.

Sistem komunikasi Pemerintah, belum mempunyai strategi sistem komunikasi untuk memberdayakan masyarakat. Seharusnya ada sistem komunikasi nasional, sehingga dapatlah dibicarakan subsistem media cetak dan siaran. Untuk tahun 2015 ini, kebebasan pers menjadi sangat terbatas, dimana 'pemerintah' memegang kendali sosial atas sikap dan perkembangan pers. Sekalipun ada beberapa media yang 'bertentangan' dengan pemerintah dan menyebarkan informasi serta situasi masyarakat dimasa kini.

Ahli komunikasi massa Harold D Lasswell dan Charles Wright (1954) dalam Akmadsyah Naina dkk (2008: 461-462), menyatakan terdapat empat fungsi sosial media massa, yaitu:
    Pertama, sebagai social surveilance. Pada fungsi ini, media massa termasuk media televisi, akan senantiasa merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi seobjektif mungkin mengenai peristiwa yang terjadi, dengan maksud agar dapat dilakukan kontrol sosial sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam lingkungan masyarakat bersangkutan.
    Kedua, sebagai social correlation. Dengan fungsi korelasi sosial tersebut, akan terjadi upaya penyebaran informasi yang dapat menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya. Begitupun antara pandangan – pandangan yang berbeda, agar tercapai konsensus sosial.
    Ketiga, fungsi socialization. Pada fungsi ini, media massa selalu merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai  luhur dari satu generasi ke generasi selanjutnya, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
    Keempat, fungsi entertainment. Agar tidak membosankan, sudah tentu media massa perlu juga menyajikan hiburan kepada khalayaknya. Hanya saja, fungsi hiburan ini sudah terlalu dominan mewarnai siaran televisi kita, sehingga ketiga fungsi lainnya, seolah telah terlupakan. Untuk itu, fungsi hiburan haruslah ditata agar seimbang dengan 3 (tiga) fungsi lainnya.
Dari fungsi-fungsi tersebut, kita mengidentikkan media sebagai salahsatu alat pengembangan karakter dan moral bangsa.

Manusia yang tidak bisa lepas dari informasi selalu memanfaatkan teknologi komunikasi yang berbasis teknologi komputer dalam kehidupannya. Ketika interaksi tersebut terjadi, maka terjadi pula dampak-dampak yang dihasilkan oleh media dari berbagai perspektif yang ada. Interksi manusia dengan komputer ini merupakan perantara terhadap terjadinya implikasi perubahan perilaku dan sikap manusia dalam proses komunikasi. Gadget seperti smartphone kini menjadi alat tempur yang sepertinya tidak dapat dilepaskan dari tangan mansyarakat kini. Hampir semua orang memiliki gadget ini untuk mengakses segala jenis informasi yang tengah up to date di dalam masyarakat.
Proses, dialog, dan kegiatan dimana melaluinya pengguna smartphone memanfaatkan dan berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga memunculkan suatu peribahasa stigmatik seperti, "telepon pintar menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh." Hal ini didasarkan akibat perubahan sosial yang serta merta mengubah pola pikir masyarakat pula.

Ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis adalah nama daripada dinasti kritisi dimasa kini. Suatu bentuk daripada globalisasi yang akan terus berkembang untuk ke depannya menyebabkan perubahan perilaku dan budaya, seperti pada contoh terjadinya pengkotak-kotakkan agama dan ras di Indonesia. Supporter sepakbola adalah salahsatu contoh konkritnya. Psywar atau perang media terjadi akibat efek rasis antar kedua belah pihak supporter, yang banyak berseliweran ketika kita membuka timeline atau fanpage media sosial yang berisi para pendukung fanatik tersebut.
Dalam segi pelanggaran hukum, tentu saja hal tersebut dapat diberi sanksi dengan KUHP atau pula peraturan-peraturan yang terkait. Namun ternyata banyak pula dari mereka yang identitasnya 'absurd' sehingga untuk penjeratan hukumnya masih sulit untuk dilakukan.

Kondisi seperti ini mengakibatkan identitas bangsa, bangsa dimanapun akan semakin rumit. Dimana jika teknologi semakin maju, maka akan semakin kompleks pula pola hidup masyarakat sosial yang tengah berkembang. Media dapat menyebabkan perpecahan persatuan bangsa, ras dan agama yang tentu saja dimanfaatkan oleh pihak dan kalangan tertentu demi tujuan yang politis dan destruktif.

Modernitas dan kebebasan memang menjadi dua amunisi terpenting di era ini, era yang membuat kita menjadi semakin 'kreatif' namun juga dapat menjadi bumerang jika kita melanggar salah satu 'peraturan' milik masyarakat.

Bernard Cohen (1963) berpendapat bahwa pers lebih daripada sekadar pemberi informasi dan opini yang mungkin saja kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, tetapi pers sangat berhasil mendorong pembacanya untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan.
Media mendorong terbentuknya pikiran yang dinamis dan praktis, mengguncang dunia dimana ada sebagian masyarakat yang menganggap dunia nyata (kehidupannya sehari-hari) berjalan sesuai dengan dunia yang digambarkan oleh media.
Itulah suatu efek luar biasa dari media.

Hal kecil dibesar-besarkan dan hal besar dikecil-kecilkan. Mungkin hal itu yang lebih tepat untuk kita menggambarkan media kini. Tentunya dengan keuntungan ekonomi yang mereka peroleh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun