Masih terekam dengan jelas ingatan masa kecil hingga remajaku. Kehidupan desa yang warganya rukun, saling bahu-membahu membangun kampung yang indah. Aku rindu suasana pagi hari: embun dingin tersentuh hangat cahaya matahari, bukan embun yang seketika sirna tersengat matahari. Aku rindu semilir angin yang sejuk, bukan polusi udara dan ramainya kendaraan yang hiruk pikuk. Aku rindu keasrianmu yang menyegarkan mata, bukan pemandangan kemacetan yang ada di mana-mana.
Sirampog, yah itulah desaku. Desa yang menyimpan banyak kenangan, desa yang sangat asri dengan gunung-gunung dan hamparan sawah nan luas. Desa yang terkenal akan gudangnya pesantren, dimana disetiap sudutnya terdapat pondok pesantren. Desa yang amat tentram dengan lantunan pengajian dari setiap sudutnya. Desa yang selalu ramai riuh oleh para penuntut ilmu, atau bisa kita sebut santri. Desa yang senantiasa aku bangga-banggakan didepan teman-temanku seperantauan.
Aku ingin ketika nanti aku menemuimu, desaku, waktu bisa berkompromi untuk tidak tergesa-gesa pergi. Aku merasakan kebahagiaan seorang anak rantau yang mengobati ridu dendam kepada kampung halamannya. Semoga hari itu, hari pertemuan aku dan kamu, desaku, akan segara Tuhan beri restu, agar temu itu menjadi temu seperti yang kumau. Meskipun aku meyakini bahwa rinduku padamu mungkin tak akan sepenuhnya terhempas, namun setidaknya rindu itu sudah sedikit terpangkas.
Desaku, sekali lagi kamu perlu tau bahwa aku berusaha untuk tidak megecewakanmu. Sebab, sejauh apapun aku pergi meninggalkanmu, aku tetap bertahan pada tujuan awalku untuk membuatmu bangga. Karena aku telah memilihmu untuk menjadi satu-satunya tujuan pulangku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H