Stage III: Internalization
Internalisasi norma migrasi teratur berkaitan dengan kepentingan dan identitas migran sebagai masyarakat ASEAN. ACTIP yang disepakati tahun 2015 dan diratifikasi oleh negara anggota menjadi pengikat dan pengakuan atas identitas masyarakat migran akan membentuk perilaku dan identitas negara anggota. Sosialisasi sebelumnya menimbulkan efek kumulatif di kawasan atau negara anggota dapat menekan negara anggota lain (legitimasi). Kehadiran NGO seperti SBMI, Migrant CARE, Women’s Solidarity for Human Right Programme dan PIJAR Indonesia bertindak sebagai decisionmakers dan memastikan kepatuhan negara terhadap norma-norma internasional.Â
Dalam pergaulan regional, tentu tidak semua negara mengakomodir kebijakan migran sebagaimana yang disebutkan Brunei dan Singapura tidak memiliki kebijakan migran (ASEAN, 2022). Hal ini disebabkan oleh reputasi, kepercayaan dan kredibilitas negara ekspor migran dalam interaksi regional yang buruk. Norma migrasi teratur perlu beradaptasi (conformity) dengan ASEAN ECOSOC. Konformitas terhadap norma digunakan untuk mempertahankan pasar tenaga kerja domestik negara anggota. Landasan konformitas lain adalah mempertahankan eksistensi diri masyarakat negara anggota.
Kehadiran ASEAN Migration Outlook (2022) belum dapat menemukan konsensus komprehensif karena terkendala prinsip non-intervensi. Negara-negara anggota anggota yang menjadi pengekspor migran berfokus pada penguatan kebijakan dan reintegrasi. Sejauh yang penulis temukan hanya Indonesia dan Filipina yang memiliki kebijakan paling komprehensif disamping negara sebagai aktor utama terdapat NGO yang turut mengakselerasi reintegrasi migran.Â
Indonesia melalui BP2MI memiliki fokus kebijakan: repatriasi akibat bencana; shelter untuk perlindungan dan penyembuhan trauma; kegiatan ekonomi produktif; pemberdayaan purna migran; peningkatan kesejahteraan keluarga migra bersama KOMNAS Perempuan; dan penyembuhan korban perdagangan manusia dan kekerasan. Filipina mendorong integrasi melalui psikososial dan mata pencaharian purna migran. Program yang digagas Filipina cukup beragam, antara lain: OFW Family Circles; program Balik Pinas! Balik Hanapbuhay!; Overseas Filipino Workers–Enterprise Development and Loan Programme (OFW-EDLP); Tulong Pangkabuhayan sa Pag-unlad ng Samahang OFWs (TulongPUSO); program Balik Pinay! Balik Hanapbuhay; program asistensi repatriasi; SPIMS (Sa Pinas, Ikaw ang Ma’am/Sir); dan PiTaKa: A Financial Literacy Programme for OFWs.Â
Di sisi lain beberapa negara anggota penerima migran tidak memiliki program kebijakan dan reintegrasi migran antara lain Brunei Darussalam dan Singapura. Kamboja, Laos dan Myanmar menempatkan kebijakan migran sebagai secondary policy dengan fokus pemulangan dan reintegrasi. Malaysia berfokus pada kerjasama dengan negara asal migran melalui nota kesepahaman (MOUs). Thailand berfokus pada: pemulangan dan reintegrasi; pendanaan untuk diaspora Thailand; pencarian kerja; ketentuan kontrak kerja; dan reintegrasi purna migran. Vietnam berkonsentrasi pada kerjasama NGO IOM dan ILO untuk mempercepat reintegrasi.
Jadi, kemunculan norma migrasi teratur di Asia Tenggara telah mengubah pola ekonomi di kawasan ASEAN. Negara anggota seperti Singapura dan Malaysia, mengalami transformasi dari produksi pertanian ke industri guna mendukung produksi global dan pergeseran pola perdagangan serta investasi. Krisis tenaga kerja pada tahun 1970-1980 di Singapura dan Malaysia menyebabkan migrasi tenaga kerja dari negara-negara seperti Thailand, Indonesia dan Filipina.Â
ASEAN memainkan peran penting dalam mempromosikan kebijakan industri dan mendapatkan manfaat dari relokasi manufaktur padat karya. Norma migrasi teratur yang disusun melalui berbagai tahapan, telah menghasilkan deklarasi dan instrumen untuk melawan kejahatan transnasional, terutama TPPO. Kerjasama dengan aktor eksternal, terutama Amerika Serikat-ASEANAPOL, turut membantu memperkuat upaya melawan kejahatan transnasional di kawasan.
Selain itu, upaya sosialisasi internasional telah dilakukan untuk mempengaruhi negara-negara anggota ASEAN agar mengadopsi dan melaksanakan norma migrasi teratur. Organisasi non-pemerintah, seperti SBMI, Migrant CARE, dan PIJAR Indonesia, juga memainkan peran penting dalam memastikan kepatuhan terhadap norma-norma internasional dan mempercepat reintegrasi pekerja migran. Meskipun terdapat kemajuan dalam pengembangan norma migrasi teratur di ASEAN, tetap terdapat tantangan dalam mencapai konsensus komprehensif di antara negara anggota.Â
Beberapa negara penerima migran tidak memiliki kebijakan dan program reintegrasi yang memadai, sementara negara pengekspor migran fokus pada penguatan kebijakan dan reintegrasi. Namun, upaya terus dilakukan untuk mencapai harmonisasi kebijakan dan meningkatkan perlindungan bagi pekerja migran.Â
Secara keseluruhan, norma migrasi teratur di Asia Tenggara telah mempengaruhi transformasi ekonomi, pergeseran pola perdagangan dan kebijakan migrasi di negara anggota ASEAN. Adopsi dan implementasi norma merupakan langkah penting dalam melindungi hak-hak pekerja migran dan mempromosikan keamanan dan kestabilan regional.