Mohon tunggu...
Kanzi Pratama A.N
Kanzi Pratama A.N Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Jadikan membaca dan menulis sebagai budaya kaum intelektual dalam berpikir dan bertindak!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bangladesh dan India dalam Refleksinya dengan Indonesia (Part 2)

11 Februari 2024   07:00 Diperbarui: 11 Februari 2024   07:07 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Komunitas Islam; budaya; sejarah

Komunitas Islam terbentuk karena empat pilar Islam, yaitu salat, zakat, puasa dan haji memerlukan komunitas dalam pelaksanannya. Sifat komunitas Islam sebagai kolektivitas ialah komprehensif dan egalitarian. Komprehensif artinya aktif dalam semua dimensi kehidupan. Pada ujungya komunitas Islam merupakan satuan sosial, ekonomi, politik, budaya dan mempunyai sejarah sendiri. Egaliterianisme itu diaantaranya ditunjukkan dalam masjid. Pada waktu masyarakat pada umumnya terkotak dalam kelas-kelas, masjid adalah benteng egaliterianisme. Di India pada waktu kuil dan gereja terkotak-kotak karena feodalisme dan sistem kasta, masjid tetap mengeskpresikan egaliterianisme. Di Indonesia barangkali tempat khusus untuk raja ada disana-sini karena alasan keamanan, tetapi selebihnya adalah egalitarian. Dua fungsi dari komunitas Islam itu ialah komunitas sebagai interest group (kelompok kepentingan) dan pressure group (kelompok penekan). Sebagai kelompok kepentingan Islam adalah normative group yang menigninkan supa nilai-nilai terlaksana. Karena itu pertikaian ke dalam akan merusak image mengenai kelompok normatif itu. Sebagai kelompok penekan umat Islam mempunyai dua kepentingan dan segala implikasi politiknya. Pertama jalan Tuhan (sabilillah) dan kedua kepentongan kaum dhuafa dan mustadhafin. Al-Qur'an sangat memprihatinkan nasib orang miskin. Orang Islam yang tidak memedulikan kehidupan ekonomi orang miskin, diancam Tuhan dengan neraka. Oleh karena itu, isu-isu abstrak seperti demokratisasi, HAM dan rule of law yang sangat penting bagi kehidupan politik yang sehat, harus dapat legitimasi kedua kebutuhan dasar itu, supaya mendapat dukungan dari umat Islam.

Budaya juga merupakan konsekuensi konsekuensi dari syariah, akhlak dan sufisme. Ditengah-tengah dunia modern yang sedang didominasi oleh budaya yang mengangungkan kebendaan (materialisme) yang menjadikan manusia sebagai pusat (antroposentrisme), keberadaan budaya Islam yang bersifat etika-religius tampak sebagai sebuah kontradiksi. Pandangan Islam mengenai budaya, sama seperti pandangan Islam mengenai sosial-ekonomi, ialah integralistik dengan Tauhid sebagai pusatnya. Ini tidak berarti bahwa Islam akan menegakkan kembali teosentrisme sebagai dimengerti orang Barat. Dalam budaya, Islam mempunyai kepribadian sendiri, tapi juga punya semangat menggabungkan antara dua kontras, idealisme dengan materialisme, barat dengan timur dan rasionalisme dengan emprisisme.

Di Indonesia sekarang ini justru ditengah-tengah kemajuan tampak bahwa budaya Islam semakin berkembang. Seni lukis, kaligrafi, qiraah, lagu-lagu, komputerisasi Al-Qur'an, sastra sufi, busana muslimah, kaset-kaset dakwah dan pembangunan masjid. Rupa-rupanya Islam punya resistensi dan kreativitas budaya tersendiri. Kata kunci dari cultural policy menghadapi budaya Islam ialah hands off, biarkan budaya Islam berkembang sesuai dengan dinamikanya sendiri. Semboyan Tut Wuri Handayani kiranya sangat cocok untuk politik budaya Islam.

Kesadaran sejarah bagi umat Islam berarti dua hal: pertama eschathology (ajaran mengenai hari kemudian/yaumil akhir) dan kedua aktivisme sejarah. Islam menjadikan kepercayaan pada hari kiamat sebagai salah satu rukun iman. Pengaruh ajaran mengenai hari pembalasan itu begitu melekat pada kesadaran sejarah umat. Hingga dalam persepsi umat ada dua maca sejarah. Sejarah jenis pertama, ialah sejarah yang ditulis manusia. Ini adalah sejarah yang ditulis berdasarkan fakta-fakta yang kasat mata. Jenis sejarah yang kedua ialah sejarah yang ditulis oleh malaikat, yang mampu mempergunakan fakta-fakta batin, yang tidak kasat mata. Jadi pelakunya adalah "Umat" dan tingkah lakunya adalah "Menyuruh yang makruf", "Mencegah yang munkar" dan "Atas beriman kepada Allah". Dalam konteks masa kini, "Menyuruh kepada yang makruf" akan berarti humanisasi dalam budaya, mobilitas dalam kehidupan sosial, pembangunan dalam ekonomi dan rekulturasi dalam politik. Pendekatan kultural dan evolusioner termasuk dalam "Menyuruh kepada yang makruf"

Dalam perjalanannya, QS. An-Nisa ayat 75 dan hadis "Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar" menunjukkan bahwa jihad besar adalah jihad melawan nafsu. Jihad merupakan istilah Al-Qur'an yang sangat sensitif. Secara tekstual jihad kebanyakan berarti berperang sungguhan untuk mempertahankan Dar Al-Islam, tetapi pada umumnya saat ini mengartikannya sebagai "Usaha yang sungguh-sungguh untuk mempertahankan kebenaran".

Makna politik dari ayat dan hadis itu sebagai kepentingan politik umat Islam, yaitu; moralitas, perubahan struktur dan mekanisme politik yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun